16 | Mamang Rossi

3.9K 645 93
                                    

ALFY

"Kamu tunggu sini, ya?"

Aku hanya mengangguk dan membiarkan laki-laki itu pergi menuju loket pemesanan tiket. Seperti ajakanku, kami akhirnya memutuskan untuk menonton film di bioskop. Saat ini aku tengah mendudukkan diri pada salah satu bangku tunggu sambil sesekali melirik ke arahnya.

Dia tetap tampan dan bahkan terlihat lebih tampan dari sebelum-sebelumnya.

Demi mie ayam, kenapa gue nggak bisa membencinya, sih?

Kepalaku menggeleng. Kali ini aku harus jual mahal. Tidak boleh begitu mudah memaafkannya apalagi kembali bersikap normal seperti sebelumnya. Aku harus menahan hasrat itu.

Mataku kembali melihat ke arahnya. Tunggu, apa-apaan itu?

Di sekelilingnya banyak perempuan yang terang-terangan mengamatinya dengan tatapan memuja. Mereka berbisik-bisik, entah apa. Tapi yang jelas mereka pasti sedang menyayangkan ada seorang laki-laki tampan yang mengantre di loket tiket bioskop sendirian tanpa pasangan. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang berani mendekat dan mengantre di belakangnya. Saat laki-laki itu tidak sengaja menoleh ke belakang, mereka mengumbar senyum dan menyapa dengan lambaian tangan mereka. Bodohnya, Pak Rafka malah membalas mereka dengan tersenyum sopan.

Hei, dia ngapain senyum kayak gitu?!

Alarm di kepalaku berteriak-teriak. Ini tidak bisa dibiarkan! Dengan langkah cepat setengah berlari, aku langsung menghampiri Pak Rafka dan berdiri di sebelahnya.

Pak Rafka menatapku heran. "Kamu ngapain di sini? Nggak nunggu di sana aja?"

Dan membiarkannya dikagumi dengan semua perempuan di sini? Enak saja. "Nggak. Mau ikut pilih tempat duduk."

Laki-laki itu mengangguk saja tanpa menyadari apa yang tengah aku lakukan. Dan seperti dugaanku, cewek-cewek yang tadinya berniat mendekati pacarku itu langsung mundur teratur dan tidak lagi melirik-lirik seperti cacing kepanasan.

"Pegang," bisikku padanya.

Dia langsung menoleh dan menatapku bingung. "Apa?"

"Ini." Aku mengangkat tanganku ragu-ragu dengan mata yang tidak berani melihat ke arahnya.

Aku bisa merasakan laki-laki itu sedang menahan senyum gelinya atas sikapku sekarang. Tapi tanpa perlu bertanya kenapa, dia langsung membawa jemariku ke dalam genggaman tangannya.

"Pas, seperti biasa."

Wajahku memerah seperti tomat busuk.

See? Aku tidak benar-benar bisa membencinya!

• • •

Ini pertama kalinya kami menonton bioskop selama berpacaran. Andai hubungan kami sedang baik-baik saja, momen ini mungkin akan menjadi momen perdana yang sangat menyenangkan.

Kami berdua sudah berada dalam teater dan duduk bersebelahan. Aku kembali diam dan tak banyak bicara sambil sesekali mencomot popcorn di pangkuanku. Aku mencoba menikmati tayangan iklan pada layar bioskop yang ada di hadapanku. Yang sebenarnya sangat-sangat membosankan untuk ditonton.

"Aku tadi ke rumah kamu, tapi ibu kamu bilang kamu pergi ke mall sama teman kamu."

Aku hanya bergumam menanggapinya. "Hmm."

"Dan nggak tahu kalau ternyata teman yang dimaksud ibu kamu itu Ali."

"Hmm."

"Udah dua kali aku ngelihat kamu sama dia. Di sekolah waktu itu dan hari ini. Kalian berdua berteman dekat?" tanya laki-laki itu.

IneffableWhere stories live. Discover now