24 | Cinta Segitiga

3K 561 116
                                    

RAFKA

"Kata lo gue nggak boleh lakuin aktifitas-aktifitas berat dulu. Kalau kangenin Alfy boleh, nggak? Soalnya itu berat."

Gue membuka mata, ingin melihat wajah kesal Gilang. Namun yang gue lihat malah wajah pucat orang lain yang sepertinya terkejut karena ucapan gue barusan.

Gilang anying! Kenapa dia diam aja kalau 'dia' datang?!

"Al-alfy?" Gue menggaruk tengkuk gue yang sama sekali tidak gatal. "Kamu di sini? Se-sejak kapan?"

Alfy berhasil menghilangkan keterkejutannya dan melangkah masuk setelah berdiri lama di ambang pintu. Dia berhenti di samping brankar gue, mengamati kaki kanan gue yang sudah diperban sedemikian rupa oleh dokter gadungan bernama Gilang. Sumpah, gue sangat berharap kalau kedatangannya ini adalah bentuk kepeduliannya pada gue sehingga cedera kaki yang gue derita ini tidak berakhir sia-sia.

"Saya datang untuk antar ini," Cewek itu menyerahkan sebuah kantong plastik pada gue yang gue terima dengan wajah bingung. "sandal ijo punya Bapak."

Tubuh gue lemas seketika. "O-oh, sandal."

Di tempatnya gue tahu kalau Gilang sedang menahan tawanya. Memang sahabat laknat. Tapi gue bersyukur, karena sandal swallow gue yang sudah buluk itu, Alfy jadi ada alasan untuk mendatangi gue. Melihat dia di sini menjadi kebahagiaan tersendiri buat gue.

Gue menatapnya dengan bibir yang mulai pegal karena terus tersenyum. "Makasih, ya,"

Dia hanya mengangguk dan tersenyum tipis. "Oh, ya, saya nggak datang sendiri kok."

Satu detik Alfy kelar bicara, pintu ruangan kembali terbuka. Rombongan guru SMA Yapita satu per satu memadati ruangan dengan bingkisan masing-masing yang mereka bawa. Seketika ruangan ini pun menjadi ramai, mereka menyalami gue satu per satu dan memberikan ucapan 'sabar' dan 'cepat pulih'yang membuat gue benar-benar speechless.

Bukan karena gue terharu, sama sekali bukan. Masalahnya gue ingin menghabiskan waktu dengan Alfy karena hanya ini kesempatan yang gue punya, tapi malah dihancurkan oleh momen seperti ini. Bahkan saking ramainya dan banyaknya orang di sini, gue tidak bisa lagi melihat keberadaan Alfy bahkan ujung hidungnya sekalipun.

Jangan-jangan Alfy udah pergi?

"Berarti untuk sementara waktu nggak bisa mengajar dulu ya, Pak Rafka?" tanya Bu Cindy, hanya ini pertanyaan yang tertangkap telinga gue karena sibuk mencari Alfy.

Gue mengangguk dan tersenyum samar. "Dua atau tiga hari ke depan saya akan ambil cuti, setelah itu akan saya usahakan datang ke sekolah."

Fix, Alfy benar-benar sudah pergi. Gue tidak berhasil menemukannya di sini. Apa seberat itu untuk bertemu dan melihat gue? Bahkan untuk berpamitan pun dia tidak bisa?

Seseorang tiba-tiba menepuk bahu gue. Saat gue menoleh, Pak Anwar—guru bidang kesiswaan—sedang menatap gue ramah dan mengatakan hal yang sangat tidak gue sangka setelahnya.

"Kamu harus berterima kasih dengan Alfy, karena dia yang meminta pihak sekolah untuk memanggilkan ambulan secepatnya setelah tahu kalau kamu kecelakaan."

Gue terpaku selama beberapa saat. "Alfy?"

Bu Cindy mengangguk, membenarkan. "Iya. Dia datang ke kantor guru dengan lari-lari. Padahal dia bisa menelepon saya atau guru yang lain jika dia mau."

Bibir gue tanpa sadar mengulas senyum tipis. Itu artinya gue masih punya harapan, kan?

• • •

Ineffableحيث تعيش القصص. اكتشف الآن