Stage 7

622 65 11
                                    

Juli 2011

Waktunya hampir habis. Butiran pasir telah tumpah secara keseluruhan, menyisakan serpihan kecil tak dianggap. Detik jam seolah berlomba mencapai tujuan. Matahari dan bulan silih berganti seakan rotasi tak sampai pada porosnya. Gemerlap lampu kota bagai kunang-kunang dibalik dedaunan. Semua berlalu cepat hingga tak memberi celah bagi para manusia lemah.

Joonmyeon masih berdiri disudut yang sama, menatap bayangan yang terus menertawakan dirinya yang hancur. Apalagi yang dapat dibanggakan, bahkan ia begitu muak untuk menatap cermin. Tulang selangka yang tampak begitu jelas cukup menjadi bukti seberapa banyak bobotnya hilang. Kini musim tak menjadi penentu gaya pakaian. Ia hanya butuh beberapa lapis kain untuk menutupi tatapan kasihan dari orang yang dikenal.

Enam tahun sudah lewat. Ia hanya memiliki waktu enam bulan lagi untuk membuktikan jika jalan yang dipilih benar. Datangnya sekertaris Yoon adalah tanda jika sang kakek telah siap menjemput. Wajah penuh amarah sang ayah pun perlahan memudar seakan tahu jika Joonmyeon akan gagal.

Mati-matian Joonmyeon bertahan. Duapuluh empat jam dalam sehari tak cukup. Pulang saat semua orang tertidur dan berangkat sebelum dunia sibuk. Jika ada 99% kegagalan setidaknya ia masih memiliki 1% keyakinan.

Belakangan ini sempat terdengar kabar jika perusahaan akan mendebutkan grup baru. Kabar burung tersebut seperti cambuk bagi para trainee. Banyak para peserta yang mengambil jam latihan lebih. Evaluasi mingguan bahkan dilakukan setiap selang dua atau tiga hari secara acak. Seperti singa yang diberi mangsa, semua berusaha menjadi yang terbaik.

Joonmyeon mengusap pelu yang bercucuran. Napas putus-putus terdengar keras. Kedua tangan menumpu pada lutut. Matanya mengedar menatap cermin di sekeliling ruangan.

Sebelah tangan yang terkepal memukul kedua kaki. Rasa kebas yang menjalar membuatnya kesulitan untuk bergerak. Dengan tertatih ia berjalan menuju sudut ruangan. Diraihnya tas dan dengan cepat menyembunyikan tabung obat dalam genggaman.

"Hyung!" Suara berat yang terdengar membuat Joonmyeon berjengit terkejut. Ia melihat Chanyeol yang berjalan mendekat. "Kau latihan sejak jam berapa?"

"Belum lama." Jawabnya singkat. Ia mengulas senyum dan menyembunyikan tangan dibalik tubuh.

"Benarkah?" Selidik Chanyeol. Matanya mengamati Joonmyeon dari ujung kepala hingga kaki.

Joonmyeon memilih tak menjawab. Ia hanya sekilas mengangguk dan berlalu meninggalkan Chanyeol. Anak laki-laki itu menatap punggung Joonmyeon yang menjauh. Jika mulut bisa berbohong maka tidak dengan mata.

"Chan hyung, kau baru sampai?" Tanya suara lain yang tiba-tiba muncul. Chanyeol tersenyum cerah dan meraih bahu sang adik.

"Ya baru saja. Kau bukanya jadwal latihan sore?"

"Memang tapi aku berniat menyempurnakan gerakanku." Anak laki-laki tersebut menatap polos wajah Chanyeol, membuat ia mengusak rambut bocah SMA itu gemas.

"Gerakanmu sudah sempurna apa lagi yang harus kau perbaiki. Kau berniat menghinaku ya?" Candanya dengan wajah dibuat-buat marah.

Jongin tertawa renyah. Chanyeol memang happy virus. Semua orang suka dengan kepribadiannya. Sifat periang yang ia miliki mampu membuat suasana menjadi lebih berwarna.

Jongin dan Chanyeol saling mengenal sejak beberapa tahun yang lalu. Pertemuan lucu yang terjadi dalam minimarket seberang perusahaan membuat keduanya dekat. Kala itu semua trainee diwajibkan untuk diet ketat. Mereka hanya diperbolehkan untuk mengkonsumsi tak lebih dari 850 kalori per hari. Keduanya saling menangkap basah satu sama lain ketika sedang menyumpit ramen dengan ekstra keju dan ice cream coklat. Kedua pasang obsidian yang saling bertemu pun mengundang tawa.

The Last StageWhere stories live. Discover now