Stage 2

720 92 22
                                    

Desember 2007

Langit malam tengah bersedih. Jutaan airmata jatuh membasahi bumi. Bintang yang senantiasa menemani kini hanya mampu bersembunyi dibalik gelap. Sang rembulan bahkan redup. Semesta seolah berduka.

Manik teduh Joon Myeon bergerak resah, menatap titik-titik hujan pada jendela. Jemarinya saling meremat. Sesekali dihelanya nafas kasar. Sudah hampir satu jam ia terjebak dalam bis. Kemacetan panjang akibat kecelakaan tak dapat dihindari.

Dilihatnya jam pada pergelangan tangan. Ia pasti akan terlambat untuk jadwal latihan hari ini. Sudah tak terhitung berapa kali teguran dilayangkan padanya. Telinganya bahkan kebal dengan perkataan pedas dan sindiran. Mata itu terbiasa melihat tatapan-tatapan benci.

Joon Myeon tak bisa berbuat banyak. Bukan inginnya untuk datang terlambat. Ia harus mengikuti pelajaran tambahan. Akademiknya tidak boleh terpuruk jika ingin melihat sang ayah kembali tersenyum.

Hujan turun semakin deras, malam pun semakin larut. Joon Myeon tak punya pilihan, ia harus menerobos hujan. Dengan berbekal tudung pada hoodie ia harus melawan airmata semesta.

Gemercik genangan air tertampar langkah besar. Joon Myeon mempercepat kerja kedua kakinya, tak peduli dengan rintangan yang ditembus. Ia hanya tahu bahwa harus segera sampai di gedung. Ia tak ingin mengecewakan semua orang ataupun sebagai penghambat bagi yang lain.

Perasaan resah terus bergulir seiring dengan tujuannya yang semakin dekat. Deru nafas itu terdengar tak beraturan. Joon Myeon lelah. Tubuhnya remuk redam, tapi ia tak boleh kalah.

Ia ingat jika hari ini telah melewatkan seluruh jadwal makan. Waktunya terlalu berharga sekedar untuk duduk barang beberapa menit dan menikmati makanan. Joon Myeon hanya butuh vitamin, setidaknya ia akan tetap hidup dengan benda itu.

"Maaf aku terlambat!" Ujar Joon Myeon seraya membungkuk begitu membuka pintu ruangan. Ia diam beberapa saat menanti sahutan marah dari sang pelatih, tapi tak kunjung mendapat balasan.

Perlahan ia kembali tegak. Pening pada kepala langsung menyerang. Tubuhnya tidak bisa berbohong, namun bibirnya memasang senyum.

"Maaf aku terlambat, songsaenim." Sekali lagi Joon Myeon membungkuk. Beberapa rekannya hanya menatap datar, tak peduli atas kehadirannya yang bahkan basah kuyup.

"Cepat ganti pakaianmu. Kau sudah tertinggal jauh!" Nada bicara itu dingin, terdengar tak berminat untuk menanggapi.

Joon Myeon kembali membungkuk dan berbalik. Belum sampai pintu tertutup rapat samar ia mendengar satu cibiran lolos.

"Ia hanya sebuah nol besar dalam rekening perusahaan dan orang tuanya."

Mereka benar. Ia sepakat dengan semua cibiran yang terlontar. Joon Myeon tak berharap banyak untuk dapat debut secepatnya. Ia sadar betul dengan kemampuan yang masih sangat jauh dari standar.

Kaki yang semula bergerak cepat kini hanya bisa menyusuri lorong dengan lemah. Manik kelincinya hanya menatap kosong. Binar mata cantik itu seketika redup. Joon Myeon tak ada minat untuk kembali ke ruangan latihan. Dalam kepala hanya ada pikiran abstrak yang terus berputar.

Joon Myeon tidak lemah hanya karena sebuah kalimat ataupun tatapan. Ia sudah terlatih dengan baik. Tetapi kadang semua hal membawanya pada kenyataan, menampar dengan keras dari semua mimpi indah.

Batu karang yang begitu kuat bahkan bisa hancur terkena ombak, bukan?

"Joon Myeon!" Suara lembut memecah hening. Dari ujung lorong dapat ia lihat seniornya yang berjalan mendekat. Cepat-cepat ia mengatur wajah secerah mungkin.

The Last StageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang