Stage 14

354 42 18
                                    

Dulu ia pernah bermimpi setinggi langit. Egoisnya terlalu besar akan angan yang terus bersemayam dalam benak. Telinganya tuli akan caci-maki. Namun apakah kini ia harus mengalah? Menyerah atas takdir yang begitu membencinya.


****

Bumi berotasi pada sumbunya selama duapuluh empat jam sehari, namun mengapa Joonmyeon merasa waktunya begitu lambat. Detik jam yang bergerak tampak berat untuk berpindah. Satu menit seakan satu jam dan ia telah melalui bermenit-menit waktu yang seakan menertawakan ketidakberdayaannya.

Langit-langit kamar adalah pemandangan yang terus ia tatap selama seminggu ini. Keheningan dalam kamar hanya diisi dengan deru mesin medis dan beberapa dokter atau perawat yang sesekali berkunjung. Mata bulan sabit yang dulu berpendar dengan cantik kini segelap malam. Dunianya seketika redup dan berhenti untuk berputar.

Entah leha nafas keberapa yang telah Joonmyeon lakukan untuk hari ini. Kepala yang dahulu tak pernah berhenti untuk berpikir kini hanya diisi kosong. Rasa sakit seakan telah mati bersama jiwanya. Sesekali Joonmyeon akan menatap keluar jendela, tersenyum pada langit dengan segala kenampakannya sebelum kembali diam. Sepi membuatnya semakin menutup diri, bersikap acuh terhadap orang lain yang datang. Senyumnya begitu mahal untuk kembali terbit

Pagi ini Dokter Park datang berkunjung dengan membawa beberapa buku bacaan. Pria itu bahkan membawa setangkai bunga matahari untuk mengganti bunga tulip dalam vas yang telah mengering. Usapan lembut selalu hinggap diatas pucuk kepala bersama penyemangan yang selalu terucap. Senyum ramah bahkan tak pernah luntur walau tak sekalipun Joonmyeon balas.

Joonmyeon bukannya tak ingin membalas. Ia begitu berterima kasih kepada Dokter Park, namun tubuhnya seakan sulit untuk memberi respon. Kekecewaan membuatnya sulit untuk kembali. Joonmyeon memilih berhenti untuk melawan takdir miliknya.

"Ada yang bisa saya bantu tuan?" Tanya seorang perawat yang masuk setelah Joonmyeon menekan tombol bantuan. Wajah dewasa muda itu tampak cerah dengan senyum yang tak luntur, walau Joonmyeon tahu jika itu hanya senyum yang mengasihaninya.

"Bisa bantu aku untuk menegakkan ini? Aku ingin membaca."

Permintaan Joonmyeon disambut hangat oleh perawat. Ia mengatur kepala bed dan beberapa bantal guna menyangga punggung. Wanita itu merapikan selimut yang bahkan tak bergeser seinci pun sejak pagi tadi ia berkunjung. "Ingin ku bantu untuk memegangnya?"

Joonmyeon menggeleng singkat. Ia menunjuk satu buku cerita anak diatas nakas, memberi isyarat atas buku yang ia inginkan. Perawat itu menyodorkan tepat dihadapannya, membuat Joonmyeon bergumam terima kasih. Sesaat Joonmyeon menatap sampul buku yang tak asing. Mungkin ia terlalu tua untuk membaca buku yang begitu kekanakan, namun jiwanya begitu merindukan masa kecilnya yang hangat.

A little Match Girl, satu cerita yang begitu Joonmyeon suka. Dulu ia begitu mengasihani si gadis penjual korek api yang harus mati bersama dinginnya malam bersalju, namun kini ia lebih mengasihani dirinya yang bahkan tak mati setelah semua hal buruk yang telah ia lalui. Gadis itu bahkan lebih beruntung dengan melihat semua impiannya sebelum menutup mata.

Deretan kalimat berbahasa asing yang tercetak ia baca dengan serius. Sebenarnya Joonmyeon telah menghafal setiap kata dalam cerita. Ia bahkan mampu mengingat detail tanda baca dalam buku, namun kisah ini akan terus menarik baginya. Wajah pucat sayu itu tampak cantik diterpa cahaya mentari yang menyusup masuk. Bola mata yang terus bergulir tampak lebih hidup dari sebelumnya.

Dari balik pintu kaca Dokter Park tersenyum mengamati. Ia memang minta para perawat menyampaikan segala perkembangan sekecil apapun dari Joonmyeon. Pria ini begitu mengasihani dewasa muda yang kini tengah redup. Joonmyeon baginya adalah gelas kaca yang terbuat dari selapis es, nampak kokoh namun begitu rapuh secara bersamaan.

The Last StageWhere stories live. Discover now