Stage 1

784 91 27
                                    

Oktober, 2007

Diufuk timur sang mentari perlahan muncul kepermukaan. Bias cahaya terang memantul pada jendela, menimbulkan efek tydall yang nampak cantik. Joon Myeon berdiri didepan jendela, membiarkan tubuh pucatnya terpapar sinar. Bibir mungil itu membentuk lengkungan cantik. Kelopak mata bulan sabit nampak teduh.

Hela nafas panjang terdengar bersama nada lelah. Ia melirik kearah pintu kamar yang tak tertutup rapat. Samar-samar dapat ia dengar tawa sang ayah dan sang kakak. Joon Myeon sedikit menarik sudut bibir. Dadanya sesak, seperti ada bongkahan besar yang kembali menghimpit. Cepat-cepat ia menyeka sudut mata yang berair. Ia tidak boleh lemah.

Joon Myeon keluar kamar dengan pakaian rapi. Nyonya Kim yang kebetulan lewat mengusap puncak kepala anaknya. Wajah teduh dengan senyum hangat mengembang, sedikit mengobati hatinya yang sakit. Ia berjalan menuju ruang keluarga dan menyapa ayahnya.

"Selamat pagi, appa!" Ujar Joon Myeon seraya membungkuk sopan. Tawa yang semula terdengar renyah sontak menjadi bisu. Ragu-ragu ia mengangkat kepala dan tersenyum.

Tuan Kim hanya menatap acuh. Diatas meja dapat Joon Myeon lihat selembar kertas dengan logo salah satu universitas terkemu di Korea. Ia menatap DongKyu dan tersenyum. "Selamat atas keberhasilanmu, hyung!"

Dongkyu balas mengangguk. Ia bangkit dan mengambil lembar kertas tersebut. Sekilas ia tersenyum begitu melewati Joon Myeon yang mematung. Entah mengapa hatinya menjadi berkali lipat lebih sakit.

Joon Myeon menatap canggung sang ayah yang sedang menyesap secangkir teh. Dari wajah itu dapat ia lihat gurat marah yang terus terpancar. Ia sudah cukup terbiasa dengan tatapan itu.

"Aku berangkat dulu, appa!" Ujarnya sopan dengan kembali membungkuk. Joon Myeon berbalik dan melangkah.

"Seharusnya kau seperti kakakmu."

Suara dingin Tuan Kim menghentikan langkahnya. Satu kalimat yang cukup membuat luka hatinya semakin lebar. Joon Myeon tersenyum samar.

"Aku pergi dulu!"

"Berhenti melalukan hal sia-sia!"

Bibir Joon Myeon bergetar. Susah payah ia menahan air mata yang hampir lolos. Perlahan ia mengatur nafas yang memburu, sesak. Hati dan mentalnya hancur.

"Appa bisa memberikan semua hal yang kau mau jika kau meninggalkan hal tidak berguna itu!"

Joon Myeon berbalik, menatap tepat pada wajah Tuan Kim. Ia kembali melempar senyum. "Maafkan aku."

Segera Ia menuju pintu keluar. Dikenakannya sepatu dengan asal dan tergesa. Kedua kaki itu melemah begitu pintu tertutup. Lama Joon Myeon terdiam, membiarkan hatinya menjadi tenang. Berkali-kali ia menghirup nafas panjang dan dihembuskan perlahan. Joon Myeon bangkit. Tangannya terkepal kuat. Sebuah senyum kembali terbit di bibir.

Semua akan baik-baik saja, Joon.

****

Suara lengkingan nyanyian merdu membuat semua orang dalam ruangan takjub. Riuh tepuk tangan terdengar keras bersamaan dengan pujian yang terlontar. Anak itu beberapa kali membungkung pada teman lainnya.

Mata Joon Myeon menatap dengan penuh binar. Kekaguman tak pernah habis bahkan sejak pertama kali ia bertemu dengan anak laki-laki itu, Kim Jonghyun.

Sesi latihan vocal telah berakhir. Banyak dari mereka mengeluh lelah karena terus mengulangi bagian yang sama. Pelatih Jang memang terbilang ketat dan detail dengan masalah nada.

The Last StageOnde as histórias ganham vida. Descobre agora