Stage 8

417 65 22
                                    

Setiap manusia pastinya memiliki topeng. Gemerlap dan riuh tawa dalam dunia tentu memiliki sisi gelap didalamnya. Seperti racun dalam daffodil yang tertutup cantik dalam petal kuning menyala. Teratai bahkan bisa tumbuh dalam busuknya rawa.

Standar dalam masyarakat seperti paradigma yang perlahan dapat membunuh. Pasang mata dan belah bibir nyatanya mampu mengalahkan timah panas dari laras panjang. Racun bagi para anjing yang terikat kuat oleh tali majikan.

Jika tentang strata tentu Brahmana adalah yang tertinggi. Namun nyatanya Ksatria dalam undakan kedua mampu mencelakai. Lalu apa yang dilakukan para Sūdra? Sebagai penghibur bagi para Ksatria yang duduk angkuh diatas kursi emas dengan segelas anggur yang mereka cecap.

.
.

Manik almond yang semula hilang kini berpendar rendup dalam hening. Kepulan asap dari pemanas tak mampu mengalahkan dinginnya hati. Cahaya mentari bahkan enggan menerobos pada celah tirai.

Joonmyeon lama terdiam menatap langit-langit. Rasa kebas pada punggung tangan seperti penjelas tanpa kata. Ia lagi-lagi kecewa pada dirinya yang begitu lemah. Kemenangan bahkan enggan saat ia melawan dirinya sendiri. Bola mata itu perlahan bergulir, menatap setiap sudut ruangan yang kosong.

Lagi-lagi ia hanya sendiri.

Dari balik tembok ia mampu mendengar bising kota. Kesendirian bahkan membuatnya mendengar setiap angin yang berhembus. Ramai bagi dunianya yang kelabu.

Hari ini harusnya ia berjuang lebih keras untuk esok, namun sayang tembok yang ia bangun bahkan memerangkap dirinya sendiri. Joonmyeon tahu ia pasti akan kembali gagal. Tanpa menunggu harusnya ia sadar akan ketidakmampuan. Rasa rendah diri adalah racun terampuh bagi kehancuran.

Perlahan ia menghela nafas, beristirahat sejenak dalam kepala yang sibuk. Sendi tubuhnya seperti besi berkarat tanpa pelumas, berderit nyeri begitu keras. Joonmyeon ingat semalam ia telah membuat kekacauan. Semua pasang mata sibuk menatap Sekertaris Yoon bersama beberapa pria berpakaian rapi yang datang dengan penuh amarah.

Joonmyeon sempurna sadar saat itu, namun sekujur tubuhnya mati rasa. Semua menjadi gelap begitu sebuah jarum menancap. Hanya gelap, tidak untuk telinganya yang bahkan masih mampu mendengar setiap cemooh yang terlontar.

Kalau boleh ia ingin sejenak bernafas, namun dunia seolah tak mengizikan untuk beristirahat. Baru saja mata itu ingin kembali terpejam namun derap langkah dan pintu yang menganga membuat ia sepenuhnya terjaga. Disana ada Dokter Park dan sekertaris Yoon. Kedua pria itu kembali menyadarkan Joonmyeon bahwa tak ada waktu untuk bersantai. Mustahil baginya untuk menghirup udara bebas barang sedetik.

Dokter Park tersenyum samar, mendahului pria lainnya. Ia berdiri disalah satu sisi matras dan menepuk pundak Joonmyeon pelan. "Sudah lebih baik?"

Joonmyeon hanya mampu membalas dengan senyum. Disaat seperti ini bahkan hanya ada orang asing.

"Malnutrisi, cidera, osteoarthritis, insomnia, paranoid, kurang istirahat dan sekarang Inflammatory bowel disease. Apalagi yang mau kau koleksi Joon?" Wajah serius dokter Park membuat Joonmyeon kembali mengulas senyum. Setidaknya pria itu akan selalu berada dalam pihaknya.

"Maaf merepotkanmu." Bisik Joonmyeon selembut angin.

Tanpa lanjutan dokter Park mulai memeriksa Joonmyeon. Ia tahu pasti dokternya ini telah menyampaikan semua hal pada keluarga. Terbukti wajah sekertaris Yoon tidak sekaku malam tadi. Begitu selesai dengan ceramah panjang dan kumpulan botol obat yang bertambah maka dokter Park undur diri. Pria itu cukup tahu posisinya.

Derit kursi yang Sekrtaris Yoon tarik membuka obrolan berat dan mungkin keputusan berat yang harus ia ambil. Pria berwajah dingin itu sekilas mengulas senyum, entah sebuah sapaan atau makna lain.

The Last StageWhere stories live. Discover now