Tepat di bibir pintu, Bella berdiri kaku di tempatnya dengan wajah basah seperti habis mencuci muka. Dia kemudian berjalan ke tempat duduknya dengan kepala tertunduk.

Gue menghela napas. "Lanjutkan kembali diskusi kalian," titah gue dan membuat kelas berangsur normal seperti sebelumnya.

Dalam hati gue menyesali apa yang telah gue lakukan. Gue tidak pernah se-lost control ini sebelumnya. Seburuk apapun suasana hati gue, tidak pernah sampai memarahi murid-murid gue dengan nada dingin dan mengancam seperti tadi. Tapi kali ini, hanya karena mendengar gosip murahan dari salah satu dari mereka membuat emosi gue lepas kendali begitu saja.

Tidak. Tidak gosip. Mungkin saja itu benar karena saat gue melihat postingan itu secara langsung, gue sadar kalau semakin kecil harapan gue untuk bisa memiliki Alfy kembali.

 Mungkin saja itu benar karena saat gue melihat postingan itu secara langsung, gue sadar kalau semakin kecil harapan gue untuk bisa memiliki Alfy kembali

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Di foto itu ... Alfy bahkan terlihat bahagia meski bukan gue yang membersamainya.

• • •

Gue berjalan menuju kantor guru setelah selesai mengajar. Koridor tampak ramai di jam istirahat seperti ini, membuat gue harus melangkah dengan penuh hati-hati. Tongkat yang gue gunakan sekarang benar-benar memuakkan. Gue ingin sekali terlepas dari benda sialan ini dan berjalan dengan normal seperti biasa, tapi Gilang bilang tulang kaki gue belum sepenuhnya pulih. Dia bilang itu memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

"Woy, mau kemana lo?"

"Duluan aja!"

Gue merasa tidak asing dengan suara itu. Dan benar saja, saat gue mengarahkan pandangan ke samping, gue melihat Alfy sedang melangkah terburu-buru, berlawanan dengan tempat kantin berada. Tiga temannya yang lain memandang dengan bingung kepergiannya, termasuk gue.

Dia mau kemana?

Seperti seorang penguntit, gue pun diam-diam mengikuti langkahnya dan berakhir di dekat taman belakang sekolah. Dengan bersembunyi di salah satu tembok kusam di sini, gue melihat Alfy dari kejauhan. Dia menghampiri seseorang dan betapa kesalnya gue saat tahu kalau orang itu adalah Riki.

Gue mengepalkan tangan di samping badan. Melihat bagaimana Alfy berinteraksi dengan Riki tanpa ada kecanggungan apapun membuat gue merasa sangat iri. Meski semuanya sudah sangat jelas, gue tetap tidak bisa mengakui kalau hubungan mereka itu baik-baik saja. Malah kelewat baik-baik saja untuk ukuran seorang mantan pacar. Tidak, mantan tunangan.

"Kenapa?" Alfy bertanya saat sudah berada di hadapan laki-laki itu.

Riki menepuk badan kursi di sebelahnya. "Duduk dulu. Cape kan abis lari-lari?"

Alfy menurut dan mendudukkan diri di bangku kayu yang sepertinya memang didesain hanya cukup untuk dua orang. Yang menjadi fokus gue adalah ketika bahu keduanya saling bertemu. Mata gue yang melihatnya langsung terasa perih di semua bagian.

IneffableWhere stories live. Discover now