Crush Down Like an Avalance (+A/N)

7K 506 40
                                    

*Dylan's POV*

Aku menghentikan mobilku tepat di puncak bukit, sinar hangat dari matahari yang terlihat jauh lebih besar dari biasanya terasa menembus kulitku.

Tiba-tiba saja Gamar keluar dari mobil dan berjalan menuju bayangan matahari di hadapan kami, dia melipat tangannya di depan dada dan hanya berdiri terdiam di sana. Aku tidak ingin mengganggunya, ku putuskan untuk hanya memandanginya dari atas mobil. Ya, aku duduk di atas kap mobilku.

Dia menoleh ke arah ku dan tersenyum, kali ini aku tidak membalas senyumannya. Dia berbalik dan menyusulku ke atas mobil. Sambil membetulkan posisi duduknya dia berkata, "Kenapa? Kok diam aja?"

Aku tersenyum lemah, "Gak apa-apa."

"Yakin?"

Aku hanya mengangguk dan mengalihkan pandanganku, tidak tahu mengapa tapi kali ini aku merasa sangat tidak bersemangat, sangat lemah.

Gamar menaruh kepalanya di pundakku, dan jangan berpikir aku tidak merasakan getaran itu. Aku merasakannya, untuk beberapa saat getaran tersebut berubah menjadi kekhawatiran.

Tidak seorang pun di antara kami berdua yang mengeluarkan suara, kami hanya berdiam diri sampai hari gelap.

"Dyl?"

"Hm?"

Dia menatap mataku untuk beberapa saat, ada kebahagian di sana tapi kebahagian yang dirasakannya tidak memberi efek apapun kepadaku. Aku tetap merasa datar.

"Aku sudah jadian sama Dirlanggha."

Sesuatu terasa menghantam dadaku, dan aku hanya bisa terdiam. Aku tertunduk, rahangku terkatup kuat. Antara marah dan tidak berdaya. Aku tidak akan menangis di depannya.

Ingin rasanya untuk tidak percaya dan berharap bahwa dia hanya bercanda, tapi apa yang terjadi maka terjadilah. Tidak ada lagi harapan untukku, semuanya terasa berakhir. Semuanya.

Dia menjentikan jarinya di depan mataku, "Kok melamun?"

Perlahan ku paksakan senyumku, dan kembali aku menatap matanya. "Sudah malam, lebih baik kita pulang. Bentar lagi hujan."

Segera aku berdiri dan berjalan menuju mobilku, ku dengar langkah kakinya berusaha mengimbangiku. Tapi aku semakin mempercepat langkah sampai aku memasuki mobil.

Keringat dingin terasa mengalir melewati pipi dan keningku, detak jantungku sangat cepat. Ingin rasanya aku berteriak dan menangis sekencang mungkin tapi mustahil melakukan itu semua di depan Gamar.

Tanpa memperhatikannya yang baru saja memasuki mobil, aku langsung mengendarai mobilku kembali ke rumah dengan kecepatan tinggi.

Pikiranku kosong, aku bahkan tidak menyadari bahwa kami sudah berada di depan blok. Waktu terasa sangat cepat berlalu... Perlahan aku menghentikan laju mobilku di depan rumah kami yang hanya bersebrangan saja.

"Makasih ya Dyl sudah mau nemanin beli buku, makasih juga untuk waktunya." Gamar berpamitan sebelum meninggalkan mobilku, tidak seperti biasanya, kali ini aku hanya mengangguk tanpa menoleh karena aku tahu bahwa aku tidak akan sanggup menahan air mataku jika aku memandangnya.

Setelah dia menutup pintu mobilku dan berjalan masuk ke dalam rumahnya, aku memasuki halaman rumahku tapi kali ini aku tidak langsung memarkirkan mobilku di garasi. Entahlah, semuanya terasa aneh.

Setengah berlari aku memasuki rumah, "Dylan?" Langkah kakiku terhenti ketika Kak Sadrie memanggilku.

"Kok kakak ada di rumah? Gak ada pemotretan?"

Kak Sadrie yang sedang memberi makan ikan-ikan kesayangannya di akuarium hanya tertawa kecil, "Kan kakak sudah bilang lagi gak ada pemotretan."

"Terus, kok Rezka pemotretan?" Tanyaku penasaran karena pada saat aku menelpon Rezka, ia berkata sedang bekerja.

Is It A Wrong Love?Where stories live. Discover now