Dua puluh empat

48 2 0
                                    

Lega rasanya setelah berjam - jam berkeliling, mampir dari satu stan ke stan lain hanya untuk sekedar bertanya kualitas dan harga barang yang sedang dicari, akhirnya Junsen menjatuhkan pilihannya pada sebuah piano digital portabel keluaran salah satu merek terkenal. Beruntung dengan adanya pameran ini Junsen tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam karena harga yang ditawarkan jauh lebih miring daripada harga yang ditawarkan di toko - toko alat musik di luar pameran.

Setelah menyelesaikan pembayaran dan juga memastikan barang yang baru dibelinya diantarkan langsung ke alamat yang sudah ia berikan, Junsen mengajak kami kembali berkeliling. Namun, rasa lelah dan kaki yang sudah mulai kram akibat terlalu banyak berjalan membuatku menolak ajakannya itu.

Rasa nyeri dan pegal di beberapa titik tubuhku merupakan salah satu sinyal agar aku segera beristirahat. Beruntung Randy dan Asni juga mempunyai pemikiran yang sama. Keduanya langsung menyetujui saranku untuk mencari tempat yang cocok dibuat untuk melepas penat.

"Yakin kamu gak mau beli apa - apa Vin ?" tanya Junsen entah yang keberapa kalinya sejak berada di tempat ini. Berhubung karena kedatanganku ke tempat ini hanya untuk menemaninya mencari piano dan untuk sekedar mencuci mata maka aku selalu menjawab tidak.

"Beli gitar atau apa gitu ? Kan kamu suka alat musik ?"

Sepertinya Junsen belum juga menyerah. Entah itu hanya pertanyaan basa - basi atau pertanyaan yang menunjukkan rasa sungkannya. Mungkin saja pria itu merasa tidak enak karena baik aku, Randy maupun Asni hanya menemaninya saja tanpa membeli satu barang pun.

"Enggak Jun, gue itu gak lagi pengen beli apa - apa." Jawabku tidak bersemangat yang dijawab dengan helaan nafas panjang olehnya.

"Yakin ?"

Junsen kembali memastikan untuk kesekian kalinya. Pria itu menatap mataku lekat yang lagi - lagi ku jawab dengan gelengan.

"Vina doang yang ditawarin nih, Sir ?Saya sama Randy gak?"

Asni dengan senyum konyolnya selalu sepaket dengan kata - kata ajaib yang keluar dari mulut lemesnya itu. Lihatlah sekarang ! Tanpa disaring terlebih dahulu, Asni justru menggoda Junsen. Meski itu hanya sekedar candaan tapi menurutku apa yang dilakukannya itu tidak tepat karena baik aku dan Asni belum tahu betul karakter dari pria bermata sipit ini. Bagaimana kalau Junsen menganggap perkataan Asni ini serius bukan sekedar candaan ? Kan bisa berabe.

Masih hangat diingatanku kejadian sewaktu Junsen mengajakku dan Asni makan siang di restoran beberapa waktu yang lalu. Dengan tidak tahu dirinya Asni memesan begitu banyak makanan yang membuat Junsen harus merogoh kocek lebih dalam lagi. Meski pria itu mengatakan bahwa ia sama sekali tidak merasa keberatan tapi matanya berkata lain. Mungkin ia tidak menyadari bahwa aku memperhatikan setiap perubahan raut wajah dan juga sorot matanya setiap kali Asni menambah list pesanannya. Beberapa kali aku menangkap mata sipit itu membeliak seakan tak percaya bahwa Asni bisa menghabiskan semua makanan itu.

"Miss emang mau beli apa ?"

Ya elah Jun, pake acara mancing - mancing segala lagi ? Asni mah pantang dipancing. Tunggu aja bentar lagi ! Siap - siap tuh kantong jebol.

"Eh, gak kok Sir. Saya cuman bercanda kok."

Mataku memicing curiga. Asni dengan jiwa gratisannya tidak akan mudah melepaskan kesempatan. Melihat cengiran khas yang menampilkan gigi gingsulnya itu membuatku yakin bahwa Asni pasti mempunyai rencana lain. 

"Tapi..."

Nafasku tercekat menunggu kelanjutan kalimat yang akan diucapkan oleh Asni. Aku hanya berharap kali ini sahabatku itu sedikit tahu diri dan tidak malu - maluin.

Pariban "Aishite Imasu" ( TAMAT )Where stories live. Discover now