Empat

55 4 0
                                    

Mengapa penderitaan ini selalu datang dalam hiduku ? Tidakkah bisa pernikahan ini berjalan selayaknya ? Aku tidak menginginkan banyak. Hanya satu yang kuinginkan yaitu kebahagiaan anak - anakku. Wanita paruh baya itu tak berhenti meratapi nasibnya. Sesekali dia mengusap kasar wajahnya dan terkadang tergugu dalam tangis. Hanya itu yang mampu ia lakukan saat ini untuk melampiaskan segala rasa sesak yang menggerogoti dadanya.

Sejak kepergian putri kesayangannya itu, menangis adalah kegiatan rutin yang dilakukannya. Hampir tiada hari ia lalui tanpa menumpahkan air matanya. Tubuhnya pun mulai kurus dan terdapat lingkar kehitaman di bawah kelopak matanya yang menunjukkan bahwa wanita itu kehilangan nafsu makan sekaligus terserang insomnia. Bagaimana mungkin ia bisa baik - baik saja sementara hati dan pikirannya sedang kalut memikirkan kondisi puterinya. Apakah puterinya sudah makan atau belum ? Di mana dia tinggal ? Dengan siapa ? Dan masih banyak pertanyaan lain yang sering berkecamuk di pikirannya. Seorang ibu tidak mungkin bisa hidup tenang sebelum ia tahu anaknya baik - baik saja.

"Kenapa semua ini terjadi? Tidak cukup aku saja yang menderita?'' Wanita itu terus meratapi nasibnya sambil memandangi foto keluarga yang tertempel di dinding.

Hidup di tengah keluarga yang masih begitu mengagungkan seorang anak laki - laki membuatnya terbelenggu dalam kesedihan yang tiada akhir. Menjadi bahan pergunjingan saudara dan juga mertuanya dalam acara kumpul keluarga sudah sangat sering ia alami. Namun, ia selalu mencoba bertahan demi keutuhan keluarganya. Menikah dengan orang yang berbeda budaya dan kebiasaan itu memang tidak semudah kelihatannya.

Bukan tanpa alasan ia menjadi bahan pergunjingan saudara - saudaranya terlebih dari pihak suami. Sejak awal pernikahannya dengan Runggu, ia sama sekali tidak mendapatkan restu dari keluarga pihak suaminya itu khususnya ibu mertuanya. Ibu mertuanya menentang keras hubungan Runggu dan Kazumi yang menurutnya tidak baik jika diteruskan mengingat perbedaan budaya yang begitu kentara. Ibu mertuanya berharap Runggu menikah dengan putri dari kakak laki - lakinya atau minimal dengan wanita berdarah Batak. Namun, apa hendak dikata manusia boleh berencana akan tetapi Tuhanlah yang berkehendak. Runggu dan Kazumi ditakdirkan Tuhan berjodoh sehingga sekeras apapun usaha orang lain untuk memisahkan keduanya tapi Tuhan punya cara untuk menyatukan umatNya.

Kazumi mengira setelah menikah kehidupan rumah tangganya akan berjalan dengan mulus tanpa gangguan pihak ketiga terutama mertuanya. Namun, kembali ia harus menelan pil pahit. Mertuanya tidak rela melepaskan anaknya begitu saja dan dengan seenaknya ikut campur dalam kehidupan rumah tangga puteranya itu. Saat Kazumi tak kunjung mengandung padahal sudah menikah selama setahun, ibu mertuanya pun kembali menunjukkan eksistensinya. Wanita paruh baya itu dengan tak berperasaannya menyalahkan Kazumi. Tidak sampai di situ. Setelah dua tahun usia pernikahan mereka akhirnya Kazumi dinyatakan positif hamil, wanita itu mewanti - wanti agar anak yang dikandung Kazumi adalah anak laki - laki jika ingin mendapatkan kehidupan yang tenang tanpa campur tangan beliau. Namun, apa hendak dikata. Kita tidak pernah bisa mengatur apa yang sudah digariskan Tuhan. Jika dia sudah berkehendak lalu siapa yang kuasa menolak ?

Masih hangat diingatan Kazumi meski peristiwa itu sudah lama berlalu, bagaimana reaksi ibu mertuanya itu ketika anak yang dilahirkan Kazumi ternyata anak perempuan. Tidak ada ucapan selamat atau senyuman bahagia di wajahnya. Yang ada hanya tatapan sinis dan kata - kata pedas menyakiti hati.

"Runggu... Coba aja kau menikah sama paribanmu si Lamtiar itu, pasti sekarang kau sudah punya anak laki - laki. Makanya kau itu jangan bandal dibilangin. Ikutin kata mamakmu ini."

Bukan tanpa alasan wanita paruh baya itu berkata seperti itu. Tepat setahun yang lalu wanita bernama Lamtiur yang akhirnya menikah dengan pemuda lain melahirkan seorang bayi laki - laki yang cukup sehat. Bisa bayangkan bagaimana perasaan Kazumi saat itu ? Pasti hancur. Meski saat itu suaminya itu membelanya mati - matian akan tetapi itu tidak cukup untuk menghibur hatinya yang terlanjur sakit. Apalagi mendengar kalimat terkahir yang diucapkan ibu dari suaminya itu.

Pariban "Aishite Imasu" ( TAMAT )Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin