Dua puluh dua

36 3 0
                                    

''Miss sibuk gak hari ini ?'' ujar Junsen begitu aku bergabung bersamanya di ruang tamu. Duduk lesehan beralaskan karpet karena di rumah ini memang tidak terdapat sofa. Aku yang memang tidak mempunyai kesibukan apa - apa hari ini kecuali mengurusi cucian yang menumpuk menggelengkan kepalaku. Senyum pria itu langsung mengembang membuat matanya yang sipit semakin tidak terlihat saja.

"Baguslah kalau gitu." Junsen menghela nafas lega. Pria itu mengangkat gelasnya, mendekatkannya ke bibirnya lalu menyesap kopi yang kuhidangkan tadi dengan perlahan. Satu hal yang membuatku heran adalah dalam setiap gerakan yang dilakukan pria itu kedua matanya tidak bergerak sama sekali. Pandangannya tertuju hanya kepada satu titik yakni diriku. Belum pernah aku mendapati Junsen menatapku sedemikian rupa. Dan lagi aku merasa tatapannya itu menyiratkan sesuatu yang entah apa artinya.

''Berhubung Miss gak sibuk, boleh gak saya minta tolong?'' tanya Junsen lagi sembari meletakkan gelasnya.

"Minta tolong apa dulu nih ?'' balasku  dengan mata memicing curiga. Sebelum mengiyakan aku merasa perlu memastikan terlebih dahulu apa yang diinginkan oleh pria tersebut. ''Kalau saya bisa pasti saya bantu kok." lanjutku. Menurutku sebelum menolong orang lain kita juga harus memastikan kapasitas diri kita. Jangan sampai memaksakan diri yang berujung merugikan diri sendiri dan orang lain.

"Pasti bisalah Miss. Ini gak susah kok. Saya cuman minta tolong ditemenin ke Kemayoran."

"Kemayoran? Tempat apa itu? Ngapain ke sana?''

Keningku mengerut membentuk beberapa lipatan. Sementara mataku menyipit menatapnya bingung. Jujur aku tidak tahu Kemayoran itu apa. Entah itu nama daerah atau mungkin nama gedung. Beberapa bulan tinggal di Tangerang belum cukup membuatku tahu banyak tentang Kota Tangerang ataupun daerah - daerah di sekitarnya.

"Itu lho Miss. Eh, tapi ngomong - ngomong ini kan di luar sekolah, kok kita ngobrolnya formal banget ya? Berasa kayak lagi di tempat kerja aja." Junsen terkekeh geli.

"Bisa gak sih panggilannya dirubah?" Aku berpikir sejenak lalu mengangguk. Tidak ada salahnya bukan merubah panggilan di luar tempat kerja agar terlihat lebih akrab.

Di saat aku masih berpikir panggilan apa yang kita - kira cocok Junsen menyeletuk.

"Aku kamu gitu ? Atau...manggil nama juga boleh ?''

Aku pun kembali berpikir lalu mengangguk setuju. Terserah Junsen mau menggunakan panggilan seperti apa yang penting masih dalam konteks sopan dan normal. Rasanya tidak salah bukan jika di luar konteks pekerjaan atau di luar tempat kerja kami menanggalkan panggilan Miss dan Sir.

"Aku kan pernah cerita ke kamu kalau aku punya niat beliin piano buat ponakanku."

Entah kenapa aku merasa sedikit aneh saat Junsen mengubah panggilannya menjadi aku kamu. Ya, mungkin saja karena belum terbiasa menggunakan sebutan aku kamu dengannya.

"Nah, hari ini tuh ada pameran alat musik di Kemayoran. Jadi aku pengen minta tolong kamu temenin aku ke sana." Junsen menatapku penuh harap.

Sebelumnya Junsen memang pernah bercerita kepadaku kalau dia ingin membelikan piano yang nantinya akan diberikan kepada keponakannya sebagai hadiah ulang tahun. Menurut cerita Junsen, keponakannya itu memang menyukai dunia musik dan pernah meminta untuk dibelikan piano. Namun, aku tak pernah menduga kalau pria tersebut akan melibatkanku dalam pembelian kado itu.

"Kenapa harus saya?''

Berbeda dengan Junsen yang langsung nyaman merubah panggilan menjadi aku kamu dalam hitungan detik, sedangkan aku sepertinya masih butuh penyesuaian. Bibirku rasanya tidak nyaman merubah sebutan itu padahal sebelumnya aku terbiasa menggunakan aku kamu dengan orang - orang terdekatku. Entah kenapa satu sisi diriku seakan tidak terima jika aku dan Junsen menggunakan panggilan aku kamu. Mungkin hal itu terkait dengan hubungan kami yang tidak terlalu dekat.

Pariban "Aishite Imasu" ( TAMAT )Where stories live. Discover now