Dan jangan lupakan, Bindara ingin meluapkan kebahagiaannya dengan Saganta. Andai saja pria itu mengizinkan Bindara untuk mengisi hari demi harinya. Bindara pasti sangat merasa beruntung.

Bindara memutuskan untuk singgah di salah satu toko yang berukuran cukup kecil, tapi pengunjungnya cukup ramai. Harap-harap saja kuenya lezat dan enak.

"Mbak, saya pesan kue cokelat nya satu kotak, sama kue peanuts satu kotak." Bindara menyebutkan pesanannya.

"Baik, berarti dibungkus, kan, Mbak?"

"Iya,"

Bindara menunggu sekitar sepuluh menit sembari melihat-lihat motor dan mobil yang berlalu-lalang. Bandung hari ini terlihat sedikit cerah. Bindara mengembangkan senyumnya.

Setelah menungggu sepuluh menit, pesanannya telah selesai.

"Ini, Mbak. Totalnya tiga puluh lima ribu," ucap pelayan toko.

Bindara menyerahkan beberapa lembar kertas berharga dan menyerahkannya pada pelayan tersebut.

"Terima kasih, Mbak." Setelah mengucapkannya dan mendapatkan balasnya berupa anggukan dan senyuman dari pelayan toko tersebut. Bindara segera menaiki kembali sepeda ontelnya, mengayuhnya beberapa kali.

Akhirnya, Bindara sampai ke tempat yang ingin ia tuju.

Tempat yang sudah jarang Bindara kunjungi karena beberapa hari ini. Entahlah, kemarin, Bindara sedang tak senang hati untuk berdiri di sini lagi.

Daerahnya seperti perkebunan, tapi ini bukanlah perkebunan. Hanya karena banyak pepohonan dan rumput-rumput hijau yang siap bergoyang tiap kali angin bertiup kencang.

Di seberang sana, ada dua gunung yang menjulang tinggi. Dari kejauhan, gunung itu tampak kecil. Tapi tentu kalian tahu sebesar apa gunung jika dilihat dengan jarak yang sangat dekat.

Bindara menggelar tikar kecil miliknya yang sengaja ia bawa. Ia membuka kotak kue yang tadi ia beli. Melahapnya dengan perlahan.

"Andaikan Saganta ada di sini, akan ku ajarkan dia artinya indah yang sesungguhnya." Bindara bermonolog, ia masih menatap langit di atas sana yang sedikit berwarna oranye.

"Saganta, aku ingin kamu menjadi milikku," ucap Bindara seperti sebuah doa.

Setelah terdiam cukup lama, Bindara hampir lupa niatnya ke sini. Ia langsung mengambil gambar yang tidak patut disia-siakan ini.

"Bunda juga pasti pengin lihat. Udah lama aku nggak ke sini juga, 'kan," ucapnya pelan.

Setelah mengambil beberapa foto dengan hasil yang memuaskan. Bindara tersenyum kecil.

"Saganta, lihat ini. Bahkan istimewanya pemandangan sore hari ini sama seperti kamu." Bindara masih ditemani dengan seulas senyum yang mengartikan segalanya.

🦋🦋🦋


Saganta mengambil handuknya dan mulai membasuh wajahnya yang tampak kusut. Ia baru bangun setelah sepulang sekolah tertidur.

Jam sudah menunjukan pukul lima sore, tapi Saganta masih tetap Saganta yang absurd.

Saganta, jika berbicara tentang pria ini. Siapa sangka Saganta mempunyai lesung pipi, hanya saja lesung itu tidak pernah timbul karena Saganta jarang tersenyum. Selebihnya tentang Saganta, tidak ada yang spesial. Saganta sama seperti lelaki pada umumnya. Hanya saja, dia punya daya tarik tersendiri, daya tarik yang kuat.

Hari-hari Saganta tidak pernah ada yang spesial. Hidupnya hanya dipenuhi dengan ledakan-ledakan dan kobaran api dalam hatinya.

Saganta hanya tinggal sendiri, ia sebatang kara. Yang memenuhi kebutuhannya adalah Neneknya yang selalu mentransfer-kannya uang.

Konsekuensi MencintaimuWhere stories live. Discover now