2. Masa Lalu

153 20 2
                                    

Seorang laki-laki dengan rambut rapi berkulit putih bersih itu menuruni tangga dengan senyum merekah. Tatapannya tertuju ke arah dapur, tempat di mana sang ibu tengah memasak.

Menghampiri wanita itu, dia lantas mengejutkannya dari belakang. "Dor!"

"Astaghfirullah, Refi!" Refa—ibu laki-laki itu—menepuk keras lengan anaknya. Refi sendiri hanya tertawa ringan menanggapi hal itu.

"Pagi-pagi udah ngagetin Mama. Ada apa kamu senyum-senyum gitu? Lagi bahagia, ya? Sini, cerita ke Mama," ucap Refa sambil menyajikan makanan di meja. Refi hanya membuntuti tanpa melunturkan senyum. "Refi mau ketemuan sama Liya di taman," bisiknya membuat Refa menoleh.

"Kamu ini. Pantes udah rapi, wangi pula. Mau berangkat sekarang? Gak sarapan?"

"Enggak, deh, Ma. Soalnya janjiannya lima belas menit lagi. Refi berangkat, Ma, see you." Refi mengecup sekilas pipi ibunya lalu pergi begitu saja. Refa hanya tersenyum melihat tingkah anak itu sebelum akhirnya berdecak kala mendapati sang anak sulung yang menguap lebar di ujung tangga.

"Yang belum mandi gak boleh makan!"

***

Refi duduk di atas motornya menunggu kedatangan gadis yang beberapa menit lalu mengirim pesan. Tepat setelah sebuah panggilan terdengar, Refi kembali tersenyum mendapati Liya dengan cantiknya mendekat.

"Maaf nunggu lama," ucap Liya saat tiba di depan Refi. Refi hanya tersenyum lalu menggeleng pelan. "Gak papa, aku baru sampai. Ada apa ngajak ketemuan? Tumben banget."

Refi turun dari motor dan mengikuti langkah gadis itu menuju sebuah bangku panjang taman di dekat ayunan. Gadis itu menarik napasnya panjang untuk mengutarakan sesuatu pada laki-laki yang kini berstatus kekasih.

"Refi ...," ucapan Liya menggantung. Refi mengerutkan keningnya dalam merasakan hawa tak nyaman yang akan dia dapatkan. Benar saja, Liya melanjutkan kalimatnya dan hal itu sama sekali tidak ingin Refi dengar. "Gue mau kita putus."

Bagai tersambar petir, tubuh Refi menegang seketika. Laki-laki itu tak menyangka hubungannya akan kandas saat mereka berencana mendaftar di SMA yang sama.

"Kenapa?" tanya Refi dingin. Bukan wajah sendu yang Liya tunjukkan, melainkan senyum miring yang tak pernah dia tunjukkan.

Setelahnya, Liya memalingkan pandangan sambil berdecih pelan. "Bodoh! Kalau gue minta putus artinya gue udah ga cinta lo, Bego!" Lagi-lagi tubuh Refi membeku. Tangannya mengepal marah berusaha menahan diri untuk tak menampar gadis di hadapannya.

"Ta-tapi lo bilang ...," Refi tak mampu melanjutkan ucapannya. Kata-katanya menggantung dengan wajah merah padam. Marah, kecewa, sedih, bercampur menjadi satu. Gadis yang dia sayangi segelah sang ibu mengkhianatinya begitu mudah.

"Lo terlalu naif, Refi. Pada dasarnya gue cuma kagum sama lo. Lo harus tahu itu, gue gak pernah suka dengan tulus ... ups, lebih tepatnya gue suka sama kemampuan berpikir lo yang cerdas. Berguna banget untuk gue ngerjakan soal, uang lo juga berguna untuk gue belanja tanpa harapin uang bulanan dari papa, dan apa lagi, ya? Intinya lo itu cuma robot bagi gue. Jangan berharap lebih, karena lo bukan tipe gue." Liya melipat kedua tangannya di depan dada. Tak lama setelahnya, seorang laki-laki dengan rambut ikal menghampiri lalu merangkulnya dari samping.

"Dia pacar gue. Yohan, mahasiswa yang lo tahu adalah sepupu gue. Maaf aja, itu bualan. Dia pacar gue dan lo ... menyedihkan. Gue besok mau ke Singapura sekaligus tunangan sama Yohan. Gue mau sekolah di sana dan tentunya lo gue tinggal." Gadis itu melenggang begitu saja membiarkan Refi dengan segala rasa sakitnya.

Mengepalkan tangan kesal, Refi lantas berteriak, "Arrghh! Cewek setan!"

Tak peduli pada puluhan pasang mata yang menatapnya aneh. Dia lantas menaiki motor dan mengendarai dengan kecepatan tinggi. Untuk pertama kalinya, seorang gadis mampu membuat seorang Teuku Refian Aldebaran menangis.

Lo beneran berengsek, Liya. Anastasya Aprilliya, lo akan jadi kisah terburuk gue, batin Refi sembari melajukan motornya. Air matanya menggenang di balik helm membuat pandangan Refi mengabur. Dia tak menyadari ada sebuah truk gandeng di depan dengan sopir yang mengantuk.

Refi menambah kecepatan motor membuat salah satu sisi motornya tersenggol truk dan tubuh Refi terlempar ke tepi jalan. Beberapa waktu, dia merasakan kepalanya menghantam sesuatu. Rasa sakit menjalar begitu saja saat helm yang dia kenakan ikut terlempar. Tak berselang lama, pandangannya menggelap.

***

Di sebuah rumah sakit Refa tak henti-hentinya menangis saat mendapati kabar anak yang tadi menjailinya kecelakaan. Rafi, Tama, dan Retha sudah sejak tadi menenangkan. Rafi sendiri sempat merasakan sakit di kepala sebelum akhirnya seseorang menelepon bahwa Refi kecelakaan.

"Mama jangan nangis terus, Refi pasti selamat. Dia kuat, Ma," ucap Rafi menenangkan.

"Gimana kamu yakin, Rafi? Refi mengalami benturan yang parah di kepalanya. Gimana kalau Refi ... hiks." Refa terus menangis tersedu-sedu di pelukan Tama. Rafi menggenggam erat tangan sang ibu berusaha meyakinkan.

"Percaya sama Rafi, Ma. Rafi saudara kembar Refi, Rafi bisa ngerasaian kalau jiwa Rafi belum sunyi. Refi masih ada di sini." Perlahan tangis Refa mulai reda. Namun, dokter yang memeriksa tak kunjung keluar dari ruang UGD membuat Refa kembali khawatir.

Tak berselang lama, keempat anggota keluarga itu menoleh saat mendengar suara pintu terbuka. Seorang dokter muncul dari ruangan—tempat Refi diperiksa—dengan wajah sumringah.

"Keluarganya?"

"Saya ayahnya, Dok," sahut Tama sigap. Dokter menampilkan senyum tipis sebelum akhirnya mengembuskan napas. "Keadaan anak Anda tidak parah. Hanya saja, benturan keras di kepalanya membuat dia mengalami kelainan. Saya sendiri tidak yakin ini kabar buruk, tetapi juga bukan kabar baik. Benturan keras di kepalanya itu membuat anak Anda kemungkinan besar mengidap sindrom langka, yaitu Foreign Accent Syndrome," terang Dokter Handoko. Tama menaikkan sebelah alis merasa tak paham tentang apa yang dokter itu ucapkan.

"Sindrom apa itu, Dok?"

"Foreign accent syndrome adalah keadaan di mana anak Anda akan berbicara menggunakan bahasa asing secara spontan. Bahkan, walau anak Anda sendiri tidak pernah mempelajari bahasa tersebut. Hal itu akan terjadi saat anak Anda berada dalam emosi yang tinggi. Namun, ini tidak bermasalah. Kecerdasan yang dimiliki tidak akan berkurang sedikit pun. Hanya saja, Anda dan keluarga harus memaklumi. Ini yang saya tangkap dari pemeriksaan saat anak Anda sempat sedikit mengigau tadi." Tama hanya diam dan membiarkan Dokter Handoko pergi setelah berdiskusi sedikit. Dia masih belum paham tentang sindrom yang menyerang anaknya.

______________________________________

Halo, iya ini spin of dari Clinomania Syndrome. Udah tahu alasan Refi benci banget sama Liya? Ya, karena hal ini. Kalau jadi Refi, apa yang kalian lakuin?

Ya, jadi Refi itu dulu murah senyum dan hangat. Sejak kejadian itu, dia berubah. Tralalalala. See you, jangan lupa follow akun Wattpad-ku. Kalau mau temenan bisa DM.

Oh, iya, follow juga Instagram-ku @faniazei17_ dan yang mau belajar sedikit tentang kepenulisan bisa cek akun Instagram @dafahenderson

Enjoy your life! See you, semangat yang PAS. Aku juga lagi PAS hehe.

Foreign Accent Syndrome [COMPLETED ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang