20. Halo, Mantan!

23 5 0
                                    

Desas-desus kehadiran siswi baru di sekolah sudah terdengar hingga ke pelosok-pelosok, bahkan siswa-siswi kutu buku juga mengetahuinya. Kehadiran siswi baru yang merupakan pindahan dari Singapura sudah mampu menggemparkan SMA Rajawali dan seisinya. Refi yang mendengar kabar itu langsung diam sambil melukis kertas HVS yang memang selalu dia letakkan di laci meja.

Refi dan Fauzan memiliki kebiasaan tersendiri. Membeli kertas HVS dan folio bergaris satu pcs, setelah itu meletakkannya di laci, untuk digunakan saat otak sedang kacau. Mereka bisa menggambar atau mengukir tulisan di sana, apa pun itu yang membuat pikiran yang mengganggu hilang. Terkadang juga digunakan saat kelas seni, atau pelajaran lain yang memerlukan dua jenis kertas itu, sekaligus meminimalisir sampah surat penggemar di laci dengan cara memenuhinya dengan barang milik mereka. Refi kesal jika harus membersihkan surat-surat setiap hari.

"Gue denger ada murid baru."

Dengar, bahkan Fauzan saja sampai membahas tentang sesuatu yang tak ingin Refi bahas sampai kapan pun. Jika bisa, dia akan bertingkah seolah-olah manusia yang baru turun gunung, tidak tahu apa-apa mengenai peradaban di bawah sana. Terutama tentang gadis itu.

"Dan gue lihat muka lo sepet gitu. Lo kenal sama murid baru ini?"

Percuma saja. Bagi orang lain yang tidak akrab bahkan hanya tahu Refi, tidak ada perubahan apa pun dalam ekspresi Refi hari ini. Tetap datar dan dingin, senyum tipis untuk Jenisa seorang. Itu yang orang lain lihat, tapi ini Fauzan, orang yang sudah mengenal Refi bertahun-tahun, duduk satu bangku, mengerjakan tugas bersama, satu perguruan, tentu saja menyadari perubahan sekecil apa pun di raut Refi.

Menghela napas sekali, Refi bersandar pada kursi, enggan melanjutkan gambarannya. "Dia mantan gue."

"Udah gue duga." Fauzan menopang pipinya menggunakan tangan kiri, tubuhnya menghadap Refi penuh. "Tapi, bukannya lo bisa acuh? Kenapa lo kayak gitu? Lo masih suka sama dia?"

"Nggak." Meraih kembali pensil arsirnya, Refi melanjutkan, "Gue cuma belum terima cara dia ninggalin gue. Gue merasa harga diri gue diinjak-injak. Tiap lihat muka dia, gue kayak ngelihat diri gue yang kayak orang gila di masa lalu dan gue benci itu."

Mengangguk paham, Fauzan beralih meraih kertas HVS juga dari laci, disusul mengambil pulpen. "Jadi, ini lo di masa lalu." Fauzan membuat gambar asal-asalan sebagai wujud penjelasan pada Refi. Mau tak mau Refi menoleh, menatap kertas HVS yang Fauzan gambar.

"Ini lo yang sekarang, ogah buat noleh ke belakang, tapi tiba-tiba bayangan masa lalu lo pindah ke depan." Fauzan membuat garis panjang seolah-olah orang-orangan yang dibuatnya tadi teleportasi. "Tapi dalam wujud cewek itu. Cewek itu kayak cermin masa lalu. Ini juga alasan lo nggak nampakin perhatian lebih ke Jenisa, 'kan? Lo nggak mau masa lalu lo keulang."

"Hm."

Sudah lelah-lelah menggambar sebagai wujud menghibur supaya wajah Refi tidak semurung ini, laki-laki itu hanya membalas dengan dehaman singkat lalu melanjutkan gambarnya yang tertunda.

"Kalau dugaan gue benar, apa dia mau minta lo kembali jadi miliknya?"

Gerakan tangan Refi kembali terhenti, gambar arsiran yang dia buat lagi-lagi tertunda diselesaikan. Sekelebat ingatan beberapa waktu lalu kembali berputar di ingatannya, tentang pertemuannya dengan Liya di Singapura.

"Gue yakin ada hal di Singapura yang nggak lo ceritain ke gue, termasuk tentang temen baru lo, Kwon Dylan."

"Dari mana lo tau?" Refi menoleh, raut wajahnya tetap datar, tapi Fauzan tahu Refi tengah menyembunyikan raut terkejutnya. Otot-otot muka yang terlalu kaku membuat dia secara tidak langsung pandai menyembunyikan ekspresi. Fauzan akui dia juga kaku, tapi tidak sekaku Refi.

"Kwon Dylan itu tetangga gue di Korea dulu. Gue, kan, sejak kelas tiga SD pindah ke Korea, baru balik ke sini pas lulus SMP."

"Pantesan."

Orang seperti Dylan, mustahil bisa menyimpan rahasia yang memang tidak penting. Mungkin dia bertanya ini-itu pada Fauzan yang tinggal di Indonesia, lalu menyangkutpautkan ini-itu tentang orang-orang di sini dan di sana, setelah itu sampai pada topik tentang dirinya.

"Lo belum jawab pertanyaan gue. Apa yang nggak lo ceritain selama lo di Singapura?" Fauzan menyikut lengan Refi membuat arsiran yang Refi buat rusak.

Menatap tajam Fauzan, Refi meremas kertasnya asal, melempar tepat masuk ke tempat sampah di depan. "Gue yakin lo udah tau jawabannya."

***

Usai menjemput Jenisa di kelasnya, Refi terpaksa harus menerima ajakannya untuk pergi ke kantin bersama. Dia selalu benci tempat ramai. Biasanya dia akan membawa bekal, tapi untuk hari ini dia sedang tak ingin makan. Akibat paksaan Jenisa yang memasang wajah memohon karena lapar berjam-jam berkutat dengan pelajaran, dia harus berdiri mengantre untuk mendapat pesanan.

"Refi!" panggilan dari arah belakang tak dia hiraukan, Jenisa yang berdiri di depannya sampai ikut menoleh penasaran pada suara yang memanggil nama kekasihnya.

"Refi, akhirnya kita ketemu lagi. Sesuai ucapan gue waktu itu, kita pasti ketemu lagi kalau jodoh." Gadis itu tampak antusias, sementara Refi langsung mendorong Jenisa pelan, memberi kode untuk maju karena antrean sebentar lagi tiba giliran mereka.

"Refi, lo kok abaikan gue, sih?"

"Kak, lo kenal dia? Bukannya dia murid baru, ya?" Jenisa yang penasaran langsung bertanya, menatap Refi yang jauh lebih tinggi darinya membuat dia terpaksa mendongak.

Menggeleng pelan, Refi tetap mengabaikan gadis yang terus berceloteh di sampingnya. "Abaikan aja, gue nggak kenal."

Refi tersentak saat tangannya ditarik paksa, Liya memeluk lengannya erat. "Gue kangen banget, Refi. Gue masih cinta sama lo. Kita balikan, ya."

"Nggak akan!" Refi menghempaskan tubuh Liya kuat, tanpa sengaja mengerahkan tenaga dalam hingga gadis itu terlempar sangat jauh. "Jangan sekali-kali lo ganggu hidup gue lagi. Kisah kita udah tamat, gue dan lo udah punya kisah masing-masing."

Melihat hal itu Jenisa membulatkan mata. Selama ini, dia tak pernah melihat Refi seemosi itu. Refi yang memang pendiam akan memilih diam tak berkutik atau berlalu pergi saat marah. Jika Refi sampai mengamuk, artinya dia bukan lagi marah, tapi merasa terusik.

"Lo! Pasti gara-gara lo Refi gini! Mending lo pergi, Refi punya gue!"

"Cukup, Liya! Gue sama lo nggak lebih dari sebatas kekasih di masa lalu. Gue nggak akan pernah jatuh ke lubang yang sama. Gue punya pilihan gue sendiri!" Refi menarik tangan Jenisa, membawanya pergi dari kantin. Di pintu masuk kantin, dia yang berpapasan dengan Refi memberi peringatan kecil untuk berhati-hati dengan tingkah Liya.

Dia tahu Jenisa lapar, oleh sebab itu dia terpaksa melanggar aturan sekolah, pergi ke warung belakang sekolah yang ramai oleh siswa-siswi berandalan jam-jam seperti ini. Walau Refi terkenal sebagai siswa tauladan, para berandalan itu temannya. Tentu saja dia tak akan takut untuk datang kemari.

Foreign Accent Syndrome [COMPLETED ✔]Where stories live. Discover now