18. 🍂 Gua Bramantyo

32.1K 4.2K 84
                                    

"Kalau Karin stress, biasanya ngapain? "

Mas Bram menguap, dan nular padaku. Namun, sepertinya baik aku ataupun dia sama - sama enggan menyudahi pembicaraan. Terutama aku, aku penasaran dengan gua yang dimaksud lelaki itu.

"Standar sih, belanja, jalan-jalan, tapi kalau masalahnya butuh pemecahan dan pikiranku buntu, biasanya curhat sama orang yang kira-kira bisa ngasih second opinion. Tapi orang pilihan ya, seperti Linda atau Mey."

"Kalau lagi marah, ngomel?"

"He em, rasanya lega kalau sudah ngomel."

"Seperti itu juga laki-laki."

Alisku bertaut. Ada jeda sejenak, dia menguap lagi.

"Kalau ngantuk banget, lanjut besok kah?" tanyaku ragu-ragu. Karena sejujurnya aku masih ingin ngobrol dengannya, tapi sisi hatiku yang lain tak tega kalau membiarkannya menahan kantuk.

"Gak papa, nanti kalau aku nggak jawab berarti sudah hilang."

"Iya, kalau ngorok langsung tak tutup."

"Dibilangin aku nggak ngorok!"

"Hahaha."

Astaga, bahagia rasanya mendengar suaranya yang sewot. Kapan lagi, iya kan?

"Aku lanjut ya? " Terdengar Mas Bram menuang air, meneguknya sejenak sebelum melanjutkan obrolan." Salah satu perbedaan paling dasar antara aku, dan kamu adalah cara menghadapi stress dan kepenatan. Caramu adalah cara yang dilakukan mayoritas perempuan, dan caraku adalah cara yang mayoritas dilakukan kaum laki-laki." Ada jeda sejenak, dia menguap. "Kami para lelaki, akan menarik diri ketika ada masalah yang cukup berat, dan di mata wanita kami dianggap 'menghilang', padahal sebenarnya kami sedang masuk ke dalam gua."

"Jadi di rumah Mas Bram ada gua? Sebelah mana?"

Aku tak tahu kenapa kali ini dia justru malah tertawa terpingkal-pingkal. Bukankah pertanyaanku benar? Dia bilang laki-laki memiliki gua nya masing-masing, sementara saat di rumahnya, aku tak menemukan gundukan yang mirip gua. Ataukah maksud dia adalah berdiam diri di dalam kamar? Seperti anak kecil yang ngambek dan mendirikan tenda camping di sudut rumah?

"Allah ampuni aku, " ucapnya diantara derai tawa.

"Apa yang lucu sih, pertanyaanku salah?"

"Nggak, tapi aku jadi gak sabar ingin segera menikahimu Rin."

"Aku tutup telponnya nih."

"Hahaha, aku mau telpon Ibu."

"Ngapain?"

"Aku gak kuat. "

"MAS BRAM?!!"

Lagi-lagi dia tertawa terpingkal-pingkal, membuatku makin kesal saja rasanya. Bagian mana yang lucu? Dia kira aku badut yang melawak? Kuhela napas dalam - dalam. Sabar Riin, sabaar, kadang orang ganteng memang ada yang nggak waras. Sejenak kubiarkan Mas Bram menuntaskan tawa.

"Gua itu, sebuah perumpamaan Rin, bukan tempat dalam arti yang sebenarnya," terangnya kemudian,, setelah berhasil menguasai tawanya sendiri. " Saat laki-laki menghadapi ketegangan pikiran, kami akan fokus pada masalah itu untuk mencari solusi penyelesaian, sehingga perhatian kami pada hal-hal lain jadi berkurang, bahkan cenderung menarik diri atau tak peduli."

"Em, bentar Mas, Kalem-kalem jelasinnya, masih loading," kusela sebelum dia makin banyak bicara. Mas Bram tertawa kecil, lalu menguap lagi.

"Misal, aku lagi ada masalah sama klien atau investor, maka perhatianku akan terpusat di sana, aku jadi mengabaikanmu, mengabaikan ibu dan orang-orang terdekatku. Bahkan cenderung menjauhi kalian karena kondisi emosi dan pikiranku sedang tegang, nah dimata kamu, akhirnya terlihat aku 'menghilang', karena pesan dan telepon darimu kuabaikan. "

Jodoh Pasti Bertamu [TERBIT]Where stories live. Discover now