8. 🍂 BLAK-BLAK AN

36.5K 5.1K 184
                                    

Si Nunung, mobilio merah hasil kerja keras selama ini kuparkir dengan sempurna. Tak jauh dari Pajero sport milik Sultan Agung jadi-jadian. Rupanya dia sudah datang.

Kuketuk keningku sendiri, teringat chit chat kami semalam. Kenapa juga aku terlalu penasaran dengan masa lalunya. Bukankah setiap orang memiliki cara berbeda dalam mengendalikan perasaannya. Dasar aku.

Lagipula, mengorek kisah masa lalu orang lain masuk kategori perbuatan tidak menyenangkan bukan? Aku bisa di penjara kalau Pak Bram gak terima. Dih ogah deh.

Aku menghela napas sejenak, memakai kacamata milik Mey yang kuambil di kamarnya tadi. Buat jaga-jaga aja, barangkali mataku masih kelihatan kurang bersahabat.

Tadi saat sarapan Ummi bertanya, dan terpaksa kusampaikan kalau kurang tidur. Meski jawabanku tidak sepenuhnya bohong, karena semalam aku tidur menjelang jam 12 malam.

Kakiku sampai lobby ketika wangi parfum yang tak asing tercium santer. Duh! jantungku terasa berdesir. Bulu kudukku juga mulai meremang. Jangan-jangan di sini ada setan.

"Selamat Pagi Pak Bram." Dua orang karyawan perempuan yang ada di balik meja resepsionis berdiri dan memberikan senyum padaku, oh tepatnya untuk orang yang berdiri di belakangku.

Aku menoleh, Bram mengulum senyum.

"Hai Rin."

"Iya Pak" aku mengangguk kikuk. Duh, kok bisa dia tiba-tiba muncul? Jangan-jangan dia juga baru sampai, sama sepertiku. Jangan-jangan saat aku turun dari Mobil dia juga masih di dalam mobilnya , jangan-jangan dia sengaja supaya kami papasan? Aduh, jadi menduga-duga gini.

Kami berdua masuk ke dalam lift. Aku merapal doa, berharap ada karyawan yang masuk selain kami, tapi sampai lift menutup, penumpangnya hanya kami berdua. Mateng aku. Pasti dia akan membahas tentang semalam.

Kulirik Pak Bram yang hari ini memakai setelan jas slim suit warna hitam dipadukan dengan kaos warna putih, membentuk pas body nya yang padat berisi. Mirip cowok-cowok korea yang kalau buka baju, dadanya uda mirip barisan roti sobek rasa coklat.

Eeeh!Astagfirullah, apa-apa an pikiranku ini. Aku menggeleng-geleng cepat, membuyarkan lamunan halu yang tiba-tiba datang.

"Tumben pakai kacamata." Pak Bram memulai percakapan. Duh ke lantai tujuh aja lama bener lift ini.

"Iya pak, lagi agak burek (buram) aja buat nyetir tadi," jawabku asal, padahal kacamata milik Mey ini bukan kacamata baca, hanya sekedar buat dia gaya-gaya aja.

"Kebanyakan begadang ngliatin medsos saya sih."

Duh Bos gak ada akhlak. Ceplas-ceplosnya suka bener. Aku meliriknya sinis, Pak Bram hanya tertawa kecil. Manis sekali.

"Jadi makan Iga kita?"

"Aturannya kan kalau Bapak ikut makan siang bareng, Bapak yang bayar," seloroh ku pelan, berharap batal saja, rasa penasaranku sudah mulai turun, aku malu kalau nanti ketahuan Sandra dan Johan kalau kepo media sosialnya.

"Nggak masalah."

Lho lho nggak gitu harusnya jawabannya. Aku hendak membuka mulut tapi pintu lift terbuka. Pak Bram melangkah lebih dulu, melenggang kangkung menuju ruangannya. Duh, gimana sih Pak Bram ini. Kuhentakkan kesal kakiku.

🍁🍁

Sepanjang hari aku gak tenang, rasanya tiap melihat jarum jam mendekati makan siang keringatku makin bercucuran, padahal AC ruangan sudah yang paling kecil.

"Mbak, aku ke stage atas. Ketemu anak kreatif dan tim produksi." Johan melambaikan mapnya di depanku.

Aku mengangguk, lalu melirik Sandra yang tenggelam di depan laptopnya. Oke aku punya akal, buru-buru kuraih ponselku.

Jodoh Pasti Bertamu [TERBIT]Where stories live. Discover now