(12)

439 32 5
                                    

Apa yang aku rasakan tidak kau rasa,
Bisakah kau merasakan apa yang aku rasa,

Hingga kau tahu betapa sakitnya rasa ini,

Rasanya bagaikan tersayat,
Rasanya bagaikan tercabik-cabik,
Dan

Rasanya bagaikan tertusuk-tusuk
Rasa Ini bahkan melumpuhkan semua masa dalam tubuhku, hingga rasa-rasa yang lain tidak dapat ku rasakan lagi.
______

Quinza

Bagaikan kuncup bunga yang baru mekar, merinsut kembali dengan kelopak bunganya satu persatu berguguran terlepas dari tangkainya, terdampar di permukaan tanah sampai mengering menjadi kecoklatan.

Terbang tertiup angin, membiarkan angin terus membawanya berbaur dengan dedaunan yang lainnya.

Terbang terbawa angin hingga terhempas lalu terpental tanpa arah dan tujuan yang pasti, kelopak bunga yang mengering seperti tidak adanya tanda-tanda kehidupan.

Malam hanya gelap telihat, susana sunyi, kehampaan melanda hati, hanya sepi yang terasa.

Aku mati rasa, jiwaku menghilang bagaikan terlepas jauh dari raga.

Hanya kegelapan yang terlihat pandangan tanpa arah, tetesan bening air matapun jatuh kembali tanpa di minta.

Jiwa yang tak ingin kembali, terlihat menjauh duduk terkurung di pojok ruangan.

Menolak untuk di gapai, menolak untuk kembali sekan takut mengenal dunia lagi, hidup dalam kehampaan dengan hati yang tersakiti begitu menyakitkan prasa.

Jiwa yang terus mengikuti, namun hanya sebatas jarak, dia tersenyum bagaikan malaikat, memberikan secercah cahaya seperti setangkai bunga berduri.

Berkali kali dan berkali kali tertusuk tangkai bunga berduri hingga meninggalkan luka berlubang tanpa darah. Berkali-kalipun mencoba untuk menutupinya kembali, tapi

Untuk menghapus luka yang sudah bagaikan tinta pewarna kian memudar hanya meninggalkan tinta hitam yang sulit untuk di hilangkan.

Menghapusnya dengan keras sekuat tenaga namun sayangnya luka itu semakin melebar hingga menimbulkan luka baru, meluas dan menyeluruh menguasai kehidupan yang membuatku terasa sesak kembali.

Berusaha untuk mengusir namanya dari dalam hati yang sudah melekat bagaikan tinta permanen, begitu sulitnya hingga aku hanya bisa bertahan, bersabar agar perasaan ini bisa menghilang tanpa harus di paksakan lagi

Menatap diri di depan cermin, memutar tubuh berkali-kali, wajah yang terlihat pucat dengan struktur tubuh yang semakin hari semakin terlihat mengurus.

Pucatnya wajahku kian membuat wajah cantikku terlihat tidak sempurna, lalu ku polesi wajahku dengan sedikit mk-up agar terlihat lebih pres.

Tersenyum hambar, kian termenung dalam lamunan. Kata Cinta banyaknya orang memberi arti yang berbeda.

Namun cintaku tetap untuknya, tadinya ku berharap meyakini sesuatu yang menjadi kebahagiaan dalam hari-hari ku.

Hitamnya warna itu terus menusuk-nusuk hulu hatiku merasa menyakitkan di kala bayangan wajahnya terus melintas.

Polesan demi polesan mik-up di wajah membuat wajahku terlihat hidup kembali tanpa adanya kepucatan lagi.

Akan ku jalani hari-hariku sesulit apapun rasanya aku yakin di balik rencana tuhan ada hikmah kebaikan yang tersimpan untukku.
____

Melihat berbagai macam makanan yang sudah tersaji di atas meja dapur, meski rasa lapar sudah menggerogoti bagian perutku tapi rasanya enggan untuk menyantapnya.

"Selamat pagi sayang!"

"Mama, nggak pergi kerja?"

"Hari ini libur sayang!"

"Tumben..?"

"Ya udah, sekarang ayo sarapan dulu baru berangkat ke sekolah!"

"Aku nggak sarapan ma..!" Jawabku tersenyum.

Mama langsung menoleh melihatku dengan menghembuskan napas panjangnya.

"Kenapa?"

"Aku nggak lapar!"

"Dari semalam kamu belum makan, makanlah sedikit, semua ini mama masak untukmu sayang, lihat ini semua makanan kesukaanmu kan?"

"Tapi ma?"

"Quinza, kamu tahu nggak menahan rasa lapar hukumnya dosa!"

"Tapi aku nggak lapar ma.."

"Mama nggak percaya."

"Ya udah aku makan.."

"Nah gitu dong!"

Aku berangkat kesekolah bersama dengan ramon, kami yang tidak sengaja berpapasan dengan Elios di parkiran sekolah, tentu saja bagian tubuhku terasa bergetar, ku berusaha menahan diri. Tubuh yang selama dua tahun ini selalu memeluknya.

Kebiasaan itu membuat rasa rindu di hati, membuat tubuh ku merindu hingga bergetar hebat.

Ramon yang menyadarinya langsung menggenggam telapak tanganku dengan erat seakan dia tahu apa yang ku rasakan.

Elios bagaikan candu dalam diriku dan Elios bagaikan mahgnet di dalam tubuhku.

Tetesan air matapun kembali berjatuhan, dan berkali-kali ramon menghapus tetesan demi tetesan bening yang keluar dari kelopak mataku.

"Kenapa? kenapa harus gue yang selalu merasakan semua ini, ini nggak adiill..." teriakku begitu keras, tidak bisa menahan lagi gejolak di dalam hati.

"Za, please tenangkan diri lo, jangan seperti ini lagi!" Ramon terlihat panik karna semua mata melihatku termasuk Elios.

"Gue lelah dengan perasaan ini, gue sudah nggak bisa lagi menahan rasa ini,,!" Ucapku kembali tapi dengan suara yang pelan.

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja tubuh ku terasa tertarik menjauh dari tempat itu, adanya seorang menarik sebelah pergelangan tanganku dengan memeganginya begitu erat.

Dia melepaskan pergelangan tanganku saat kami sampai di taman sekolah, berdiri saling berhadapan, barulah aku sadari jika dia adalah Elios, Pangeranku.

Wajah dinginya bagaikan Es, tidak pernah menghilang dari guratan wajahnya. Ku akui jika memang Elios memiliki kharisma yang berbeda dari lelaki yang lainya.

"Dasar gadis bodoh, bisa nggak lo nunggu sebentar lagi?"

Apa maksud dari kalimat yang di lontarkannya dengan kata Menunggu.

"Hey....bisa nggak lo menjauh darinya Elios..?" Ramon yang datang secara tiba-tiba langsung mendorong tubuh Elios hingga memberi jarak di antara kami.

Ramon mendekatiku sambil berkata..

"Za lo nggak apa-apakan?" Tanya Ramon panik.

Aku hanya diam, dengan pandangan terus melihat Pangeranku yang tersenyum, namun terlihat mengerikan.

Dia berjalan mendekatiku sambil berkata.

"Lo mau tahu kenapa? rasa itu nggak pernah hadir di hati gue, dan gue nggak pernah merasakan perasaan apapun sama lo, itu karna loe gadis idiot, gadis bodoh, gadis lemah dan.....!"

Plaaakkkk...

Belum saja dia menyelesaikan ucapanya, tangan ku refleks langsung menamparnya, membuatku sadar lalu menangis kembali saat dia melihatku.

Aku langsung pergi, berlari sekuat tenaga. Andaikan saja aku bisa berharap, saat ini juga aku ingin  meninggalkan dunia ini, pergi untuk selamanya.

Namun nyatanya tuhan tidak mengizinkanku untuk pergi secepat itu, sampai kapan aku harus merasakan rasa sesakit ini.

Kenapa tuhan tidak membiarkanku merasakan sedikit saja rasa kebahagiaan.

Apakah salah aku mencintainya?
Apakah aku tidak berhak untuk bahagia?

*****

2018

KADO TERAKHIR (END, Masih Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang