(37)

183 18 11
                                    

Hanya sebatas rangkaian kata, memiliki makna tersendiri.
Sebagai ucapan kata lirih tak terungkap hanya bisa menyimpan dalam hati.

Izinkan aku mengisi hatimu seperti pena menggores kertas putih.
Menuliskan namamu di setiap bait kata.

Membiarkannya selalu abadi tanpa harus menghapusnya dari dalam hati.
Agar kamu tahu jika dirimu sangat berarti.
_____


Pagi harinya Quinza masih berbaring di atas tempat tidur kian tubuhnya mengeliat, bergerak kesana kemari menubruk tumpukan kado yang berada di sampingnya.

Menyadarinya dia langsung membuka mata, dengan wajah memelasnya ada dua hal yang di sesalinya saat ini.

Yang pertama karena hari ini dia bangun kesiangan hingga merasa surganya menghilang, bagaimana tidak. Biasanya dia terbangun sebelum azan subuh berdengung. Berdiri di tengah-tengah hamparan sawah yang basah karena embun. Tanpa menggunakan alas kaki membiarkan embun yang tergenang di rerumputan ilalang yang di pijaknya membasahi permukaan telapak kakinya. Setiap helaian daun padi tidak di sia-siakannya, menghapus jejak-jejak embun yang menempel dengan telapak tangannya lalu mengusapnya di setiap permukaan kulit tubuhnya. Itulah surga yang di maksudkan olehnya tapi hari ini dia tidak dapat menikmati surganya.

Dan yang kedua di sesalinya. Merasa jika kado-kado yang berserakan di atas tempat tidurnya telah menghalangi pergerakan tubuhnya menjadi tidak leluasa seperti biasanya.

Menghela napas panjang saat melihat ramon duduk di sopa dalam kamarnya sambil mengotak atik ponselnya dan sesekali mengangkat sebelah tangannya ke atas menggerakkan ponselnya ke kanan dan kekiri, memutar dan membolak balik dengan posisi yang berbeda.

"Kok nggak ada sinyal?" Gumamnya palan.

"Percuma saja, emang di sini nggak ada sinyal, masih untung ada listrik!"

"Sejak kapan lo udah ada di dalam kamar gue?" Tanya Quinza saat menyadari keberadaan Ramon.

"Dari semalam" Jawabnya dengan terus menggerakkan ponselnya.

"Apa?"

Quinza berjalan mendekati Ramon yang masih saja fokus pada ponselnya.

"Apa dari semalam lo nggak tidur?" Quinza kembali bertanya.

"Sepertinya begitu"

"Gila, apa lo kawatirin gue?"

"Jika pembunuh itu datang lagi, siapa yang akan nolongin lo?"

"lo jangan terlalu hawatirin gue, gue bisa jaga diri kok!"

"Bagaimana lo bisa setenang ini?"

"Ramon gue nggak takut mati, jika gue mati itu sudah kehendak dari tuhan"

"Apa sebaiknya kejadian malam ini kita laporkan saja ke polisi. Agar polisi mencari tahu siapa yang ingin bunuh lo?"

"Sudahlah, lupakan saja kejadian semalam, lagian nggak mungkin dia datang lagi yang kedua kalinya!"

"Kenapa lo sangat yakin?"

"Kan ada lo di sini!"

Ramon terdiam rasanya percuma berdebat dengan Quinza, dia tidak akan pernah memahami akan ke kawatirannya yang saat ini melanda hatinya. Jadi diapun memilih untuk menyelidikinya secara diam-diam dengan membayar seseorang untuk membantunya.

Ramon tersenyum kembali melihat Quinza. Lalu Menarik sebelah tangannya agar Quinza mengikuti langkahnya.

Dengan perlahan dan penuh rasa hati-hati seingat dengan kondisi Quinza saat ini dengan perubahan tubuh yang terlihat lemah. Berjalan memasuki hutan, sesekali Ramon menoleh pada Quinza yang berjalan tanpa berkata apa-apa.

KADO TERAKHIR (END, Masih Lengkap)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora