38. Gangguan

40.5K 4.7K 324
                                    

Gibran masuk ke dalam kamar.

"Belum tidur juga?" Gibran mengambil duduk di samping Naya.

"Belum. Aku nungguin Mas Gibran, maunya tidur sambil dipeluk." Naya setengah berbisik agar Ais tak mendengar perkataannya.

"Manja banget si, bikin makin cinta."

Cup!

Satu kecupan mendarat dengan manis di pipi kiri Naya. Gibran tahu diri untuk tidak mencium bibir istrinya karena tidak mungkin ia melakukan hal senonoh seperti itu di depan anak kecil.

"Tapi kan aku tidurnya di sofa. Biar kamu sama Ais aja yang tidur di kasur."

Naya mengerucutkan bibirnya, tangannya memeluk lengan Gibran manja.

"Tidur di sini aja Mas, aku mau dipeluk. Nanti aku di tengah, biar bisa dipeluk sama kamu sekalian jagain Ais."

"Ais nggak apa-apa kan kalau tidur di pinggir?" tanya Naya.

"Emmm, tapi dipeluk sama ibu kan?"

"Iya sayang. Uh, sayangnya ibu sini sini ibu peluk." Naya memanjangkan tangannya yang langsung disambut hangat oleh Ais.

Tanpa Naya tahu jika Gibran sudah memasang wajah masamnya. Emm, cemburu mungkin.

Setelah cukup lama berpelukan, Ais dan Naya melepaksan pelukan mereka.

"Ais udah lama nggak dipeluk sama ibu. Jadi gini ya rasanya?"

Perkataan Ais sontak membuat hati Gibran mencelos, begitu pula dengan Naya yang menegang di tempat.

Rasa kesal yang sempat ada pada Ais kini entah terkuap kemana, yang ada Gibran justru iba dengan anak tersebut, sedari kecil sudah tidak bisa merasakan hangatnya kasih sayang seorang ibu. Gibran yang membayangkan dirinya ada pada posisi Ais saja sudah merasa tak sanggup.

"Nanti ibu sering-sering peluk Ais deh, biar Ais bisa melepas rindu sama ibunya Ais." Gibran tersenyum menanggapi perkataan sang istri.

"Sekarang kalau rindu bisa langsung peluk ibu aja." Gibran menimpali.

Naya terdiam sejenak, beberapa detik kemudian senyumannya lebar. Naya senang melihat suaminya yang seperti menerima keberadaan Ais.

"Memangnya boleh begitu?" tanya Ais.

"Boleh kok sayang. Kapanpun Ais mau, ibu pasti peluk Ais, jangan sedih-sedih lagi ya."

"Terima kasih ya ibu. Ais sayang ibu," ujar Ais dan menghadiahkan kecupan manis pada pipi Naya.

"Ya sudah, ayo tidur udah malam," kata Gibran.

Gibran menunggu Naya dan Ais berbaring, barulah ia mematikan lampu kamar diganti dengan lampu jamur yang cahayanya redup-redup yang penting ada cahaya, karena Gibran tahu Naya tidak bisa tidur kalau gelap sama sekali.

Emmm, Naya itu kalau tidur lampunya harus mati tapi tetap harus ada cahaya, ngerti kan? Maksudnya cahaya yang redup-redup tidak terang tapi harus ada kalau tidak Naya tidak akan bisa tidur tenang.

"Mas Gibran nanti tangannya jangan macem-macem ya." Naya berbisik.

"Hemm, nggak janji." belum semenit diperingatkan tangan Gibran sudah berkelana menaiki gunung.

"Mas Gibran ih geli," kata Naya berbisik sekaligus berusaha menahan desahannya.

Naya berdecak, ia mengambil tangan Gibran yang nakal dan menaruhnya di atas perutnya. Naya menuntun tangan Gibran untuk mengusap perutnya lembut, Gibran pun menurut.

"Udah. Usapnya di situ aja, tangannya jangan nakal-nakal lagi," kata Naya.

"Ibu peluk." Naya langsung memeluk Ais.

Sepupuku Suamiku Where stories live. Discover now