23. Kesal

49.5K 6.1K 695
                                    

"Nggak mau. Ais maunya sama Ibu, Ais maunya tidur sama Ibu dan Ayah, mau tidur bertiga lagi, mau dipeluk sama ayah dan Ibu." Ais menangis.

Jujur aku bingung harus bersikap bagaimana, terlebih aku bukanlah perempuan yang bisa membujuk anak-anak. Bisa dibilang aku tidak terlalu pandai mengurus anak-anak, karena aku tipe perempuan yang tidak terlalu suka pada anak-anak, hobiku bahkan hanya membuat anak-anak menangis. Aneh memang, tapi entah kenapa kalau melihat anak-anak menangis itu seperti sebuah hiburan bagiku, ada rasa kepuasan yang kurasakan.

Akhirnya aku pun hanya bisa mengelus punggungnya lembut.

"Ssst, nggak boleh nangis," bisikku.

"Ais tantenya harus pulang sama om," kata Ibu Wafa.

"Biarin aja omnya pulang sendiri, Ibu di sini aja tidur sama Ais dan Ayah."

Tidak. Itu adalah satu hal yang tidak akan mungkin terjadi.

"Ini bukan Ibu sayang. Sini!" Ibu Wafa mengambil alih paksa Aisyah, anak itu semakin menangis keras.

"Bu, nggak apa-apa kok saya temenin Ais sampai dia puas sama saya," kataku.

"Nggak apa-apa kok nak Nay, Ais cuma lagi rewel karena ngantuk aja makanya kayak gini, nanti juga tidur sendiri kok."

Sebenarnya tidak tega melihat Ais seperti itu. Air matanya mengalir deras.

"Mau sama Ibu," katanya sambil menangis.

"Ais, dia tante Naya bukan Ibu," kata Rasya memperingati.

"Nggak mau, pokoknya Ais mau tidur sama Ibu!" Ais semakin nangis meraung.

Aku menggigit bibir bawahku, melirik Mas Gibran yang nampak menghela nafas.

"Saya mau ngomong sama Ais sebentar, boleh kan?" tanyaku pada Rasya dan Ibu Wafa. Rasya mengangguk, merasa mendapat jawaban akhirnya aku membawa Ais keluar dalam gendonganku.

"Ais, dengerin baik-baik ya. Saya ini tante Naya bukan Ibu." aku menangkup kedua pipi chubby Ais.

"Ibu kok ngomongnya gitu? Udah nggak sayang sama Ais dan Ayah ya?"

"Bukan begitu Ais, ini tante Naya bukan Ibu. Ibu itu orang yang melahirkan Ais, sementara tante Naya ini orang baru dalam hidup Ais. Jadi kesimpulannya tante Naya ini bukan Ibu." aku masih menjelaskan dengan nada lembut.

"Na." Mas Gibran muncul menghampiri kami.

"Dia siapa, kok deket-deketin Ibu? Nanti Ayah marah lho kalau Ibu dekat-dekat sama orang lain."

"Ini om Gibran, dia ini suaminya tante."

"Suaminya Ibu kan Ayah bukan dia." Ais menatap Mas Gibran dengan tak suka.

"Ini suaminya tante, istrinya Ayah kamu ya Ibu kamu bukan tante."

"Enggak. Istrinya Ayah itu Ibu." Ais semakin memelukku.

"Ais ayo turun sayang. Biar Ayah gendong, itu om sama tante mau pulang." Rasya menghampiri kami, ia berusaha mengambil alih Ais dari gendonganku.

"Ais mau digendong sama Ayah, tapi dengan syarat kita tidur bertiga barengan." aku membulatkan mata, mana bisa seperti itu.

"Eh, nggak bisa begitu sayang," kata Rasya.

"Kenapa nggak bisa? Dulu juga sering tidur bertiga."

Rasya tampak menghela nafas.

"Waktu itu kan kita tidurnya barengan karena almarhumah Ibu adalah istri Ayah jadi boleh tidur bertiga. Nah, sekarang ini tante Naya itu bukan istrinya Ayah jadi nggak boleh tidur bertiga."

Sepupuku Suamiku Where stories live. Discover now