14. Malam pertama

78K 7.7K 249
                                    

Sampai rumah aku dan Mas Gibran segera membawa barang belanjaan dan menaruhnya di atas meja makan.

Baik aku dan Mas Gibran kemudian sama-sama berlari menuju lantai dua. Kamar kami. Kami belum shalat magrib, makanya sekarang berlomba-lomba untuk masuk kamar mandi.

Aku membiarkan Mas Gibran terlebih dahulu masuk ke kamar mandi. Tidak butuh waktu lama, akhirnya Mas Gibran telah keluar dari kamar, kini giliranku mengambil air wudhu untuk shalat.

Membutuhkan sedikit waktu yang lebih banyak di dalam kamar mandi bagiku. Keluar dari kamar mandi, aku melihat Mas Gibran yang sedang menggelarkan sajadah lalu menaruh mukena di atas sana.

"Eh, Na udah selesai Wudhu-Nya?" tanya Mas Gibran sesaat setelah menyadari kehadiranku.

MasyaAllah, ucapku dalam hati. Definisi 'Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?' ada pada diri Mas Gibran saat ini. Sungguh Mas Gibran terlihat lebih tampan dengan menggenakan sarung, baju koko, dan juga kopiah.

Dan juga dengan buliran-buliran air di wajahnya sehabis wudhu menambah kesan gantengnya. Sedetik kemudian aku tersadar dan langsung mengucap istigfar dalam hati. Saat aku kembali menatap Mas Gibran ternyata dia juga tengah menatapku lekat.

"Eh, ayo shalat." Mas Gibran mengusap wajahnya.

"Mas Gibran belum shalat?"

"Belum. Kan tadi aku nungguin kamu selesai wudhu biar bisa shalat berjamaah. Ini shalat pertama kita barengan kan ya?"

Aku mengangguk, segera aku memasang mukena.

Shalat magrib pertama di rumah ini diimami sendiri oleh Mas Gibran. Jantungku berdesir mendengar lantunan ayat-ayat suci al-qur'an yang keluar dari mulut Mas Gibran. Merdu dan menenangkan, dua kata yang cocok mendefinisikan perasaanku saat ini.

Dalam hati aku mendesah kecewa karena lantunan ayat suci al-qur'an tersebut berhenti terdengar karena shalat kami telah selesai.

Setelah berdoa dan sebagainya, aku melepaskan mukena. Hendak merapikan barang belanjaan. Sementara aku melihat Mas Gibran mengambil al-qur'an dan membacanya. Sungguh aku suka sekali mendengar Mas Gibran mengaji.

Aku mulai merapikan bahan makanan yang aku beli tadi. Cukup lama sampai kedatangan Mas Gibran membuat perhatianku teralih.

"Aku bantu apa, Na?" tanya Mas Gibran mendekatiku.

"Eh, nggak usah Mas. Lebih baik Mas Gibran duduk manis aja nanti biar aku yang ngerjain."

"Emang bisa?"

"Bisalah Mas, kalau enggak bisa mana mungkin aku ngeyel buat ngerjain semuanya," jawabku sewot.

Mas Gibran tertawa.

"Kok ketawa? Mas ngejek aku ya?" aku mendelik.

"Suudzon kamu. Padahal aku nggak pernah ngejek kamu lho."

"Ya udah sini. Mana yang perlu aku bantu?"

"Mas kok ngeyelan banget sih. Biar aku aja," ucapku.

"Biar cepet selesai, supaya kamu juga bisa istirahat. Pasti capek kan? Nah biar cepat istirahat sini aku bantuin."

"Terserah Mas deh," ujarku pasrah.

"Aku bantuin apa nih, Na?"

"Mas pilih-pilih sayur itu terus taruh di kotak yang beda ya. Ngerti kan?"

"Siap, Na."

Sekitar jam sepuluh mendekati sebelas pekerjaan aku dan Mas Gibran telah rampung. Aku menyusul Mas Gibran mencuci tangan.

Sepupuku Suamiku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang