3. Tonight.

88 57 31
                                    

"lexsy..lexsy.."
Tubuh wanita itu bergetar, air matanya mengalir deras. Ditatapnya sosok putih berbulu lebat dalam pelukan lelaki tinggi tepat didepannya. Cairan merah kental mengalir menetesi kaki seputih kertas miliknya.

"tenang kucingnya ngak papa kok"
Lelaki tinggi, mengenakan sweater hitam mencoba menenangkanya, sambil menggiringnya ketepi jalan.

"Meong.."
Tubuh kucing putih bersih itu bergerak mengeluarkan meongan lirih, sontak membuatnya menghembuskan nafas lega, punggung tanganya menyeka air mata dengan kasar lalu dengan segera direbutnya seokor kucing kesayangan dari dekapan lelaki asing.

"udah ya mba, saya pamit.."

Leleki asing itu membalikan badan melangkah meninggalkannya, namun jari-jari kecil berhasil menggengam lengan kekar, Menahanya untuk tetap diam.

Sosok yang tertutup tudung sweater hitam itu membalikan badanya, kedua bolamata hitam itu beradu dengan manik mata cantik Hazel, napak genangan air masih terbendung.

"Kau.. Berdarah, bi..Biar ku obati"
Sunyi, entah apa yang membuat asmosfer disekitar mereka terasa sunyi seketika, dua pasang telinga itu seolah kehilangan fungsinya sesaat tidak ada satu suarapun yang mampu menyapa gebdabg telinga mereka. Padahal jalanan masih penuh dengan berbagi kendaraan.

"a..anggap saja sebagai ucapan terimakasihku"

Lima jari kecil itu nampak semakin erat mengengam lengan lelaki asing tersebut. Kedua mata sebabnya nampak besinar-sinar bak seekor kelinci yang memelas membuat luluh. Dengan pasrah sang pemilik lengan hanya mengekor mengikuti setiap langkah kecil wanita didepanya.

"duduk saja disitu, aku tidak akan lama hanya mengabil kotak obat" Ucaonya sambil berlalu memasukin pintu rumah.

Sosok wanita dengan kaos putih itu kini telah lenyap dari pandanganya, meninggalkanya sendiri. Matanya berkeliling melihat setiap detail bangunan besar berwarna putih. Nampak mewah, menakjubkan, Namun aneh rumah sebesar ini mengapa sangat sepi? tak ada suara apapun selain jangkrik dan petikan ekor cicak.

'Rumah sebesar ini masa Cuma dihuni olehnya' Pikirnya menerka-nerka.

Dikebasnya tangan yang sedari tadi mengelurkan darah membuat darah menciprati sweater yang melekat pada tubuhnya.
'sial kenapa darahnya ngak berhenti, kan jadi harus berurusan lagi dengan wanita ini' jarinya menga acak-acak rambutnya merasa benar-benar kesal.

"Ehem"
Suara dehem selalu saja berhasil membuat jantungnya seolah melompat keluar, secara reflek tubuhnya terbangun dari duduk.

"Sini lukamu biar ku bersihkan"

Wanita itu menarik lengannya, diambilnya kapas yang sudah diberi cairan antiseptik, Pandanganya benar-benar fokus pada luka, Diusapnya kapas berlahan menyapu kerikil kecil dan darah yang mengalir.

'Anh..kenapa tak terasa perih? Seperti dia sudah mahir membersihkan luka' diliriknya wanita itu, surai hitamnya menutupi sebagian wajah, namun pandanganya malah kini teralihkan pada telinga yang polos tanpa anting atau apapun.

Hal itu nampak aneh baginya bukankah biasanya wanita mengunakan anting untuk mempercantik dirinya juga sebagi penanda bukan?

Suasana hening terasa cangung, tidak nyaman, lidahnya terasa gatal karena terlalu lama diam. Namun otaknya tak kunjung menemukan topik yang tepat ditambah lagi jika mengingat kejadian di kantin itu membuat nyalinya menciut.

HeaAin Problem (REVISI)Where stories live. Discover now