BLL | 14

22.6K 2.1K 64
                                    

Arial tak melepaskan pengawasannya pada sepasang remaja yang sedang dimabuk cinta

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Arial tak melepaskan pengawasannya pada sepasang remaja yang sedang dimabuk cinta. Siapa lagi kalau bukan Arsa dan Bianca. Saat ini, Arsa sedang menggendong Bianca di punggungnya menuju kamar gadis itu.

"Ayo, Arsa, lari!!!" seru Bianca semangat. Setelah menghabiskan berpiring-piring nasi beserta lima macam lauk pauk yang dibelikan Arsa di apartemen, Bianca seperti baru di charge. Gadis itu tak berhenti berceloteh dan bergerak kesana kemari.

"Jangan, nanti kamu jatuh. Di tangga ini," tolak Arsa. Bianca mengerucutkan bibirnya sebal, menyandarkan kepalanya di punggung Arsa.

"Sa, jalan-jalan pake motor, yuk! Udah lama kita nggak motoran," ajak Bianca. Gadis itu sedang tak ingin berada di rumah, karena ia yakin, bila ia diam sedikit saja, pasti ia akan mengingat kejadian itu lagi.

"Masuk angin," tolak Arsa lagi, sambil meniti anak tangga satu persatu.

"Ih, Arsa nggak seru! Ya udah, aku jalan-jalan sama Bang Arial aja. ABAAANGGG!!! AYO HABIS INI KITA MOTORAAAANNN!"

"OKEEE!" sahut Arial. Arsa menggeram rendah.

"Jangan macem-macem, Bianca. Awas kamu pergi tanpa sepengetahuan aku!"

"Habis kamu nggak mau," balas Bianca kesal. Biarlah Arsa marah. Ia sungguh tak ingin berada di rumah sekarang.

Arsa menurunkan Bianca saat mereka sudah sampai di kamar bernuansa biru muda milik Bianca. Gadis itu masih cemberut, membuat Arsa gemas.

"Ya udah, boleh jalan-jalan. Tapi sama Bang Arial dulu, ya? Aku ada urusan. Tapi jangan terlalu deket sama Bang Arial. Aku nggak suka."

Wajah sebal Bianca langsung berubah cerah mendengar ucapan Arsa. "Beneran?"

Arsa mengangguk. "Iya, Sayang. Sana, mandi. Aku pulang dulu. Inget, jangan nakal!"

"Siap, Bos!" balas Bianca. Gadis itu langsung bergerak menuju kamar mandi. Arsa tertawa kecil, sebelum keluar dari kamar Bianca.

Sesampainya di luar, Arsa langsung berhadapan dengan Arial yang menatapnya menyelidik.

"Gue balik dulu, Bang. Titip Bianca," ucap Arsa tak rela. Arial masih diam di tempat, matanya tak lepas dari kekasih sekaligus sahabat kecil adik sepupunya itu. Saat Arsa hendak berlalu, Arial menahan lengan Arsa.

"Kenapa?" tanya Arsa bingung.

Arial terdiam sebentar, lalu menggeleng. Ia segera melepas cekalannya pada lengan Arsa. "Sorry. Sana pulang."

Arsa mengangguk tak peduli, lalu melanjutkan langkahnya. Namun, langkahnya kembali terhenti saat Arial menanggilnya.

"Sa, lo inget tukang siomay langganan lo sama Ica dulu, nggak? Lo punya nomor hapenya?"

Arsa berusaha menetralkan wajahnya agar tak terlihat panik. Ia menelan ludahnya kasar.

"Kayaknya udah gue buang nomernya. Nggak sehat Bang makan gituan. Ntar gue cari lagi."

Arial mengangguk. "Namanya siapa, ya? Si Mang-nya. Kali temen-temen gue tau."

Arsa tertawa hambar. "Nggak inget, Bang. Udah lama nggak beli juga. Gue balik dulu. Buru-buru."

Tanpa menunggu balasan Arial, Arsa berlalu cepat keluar dari rumah, menuju mobilnya. Arial masih terus mengawasi gerak-gerik Arsa. Dahinya berkerut, seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Abang, ayo jalan-jalan!"

Suara Bianca mampu mengembalikan kesadaran Arial. Ia menoleh ke arah pintu sebentar, lalu mengangguk. "Bentar, Abang ganti baju dulu."

***

Arsa melangkah memasuki pekarangan sebuah rumah minimalis bertingkat dua. Tanpa ragu, ia mengetuk pintu utama rumah itu, mengisyaratkan agar sang pemilik cepat membuka pintu. Tak lama, orang yang ia tunggu-tunggu akhirnya keluar.

BUG!

Arsa langsung melayangkan sebuah pukulan telak di rahang sang pemilik rumah.

"Lo apa-apaan, sih?!" balas Bara. Ya, Arsa mendatangi rumah Bara, dan langsung meninju wajah Bara hingga laki-laki itu terhuyung ke belakang.

"Udah berapa kali gue bilang, jauhi Bianca!" ucap Arsa emosi.

"Kenapa emangnya?" tanya Bara. Ia murni bingung.

"Bianca cewek gue," ucap Arsa penuh penekanan. Hal itu mampu membuat kedua mata Bara membulat sempurna.

"Oh, congrats," ucapnya. Meskipun ada rasa sakit di hatinya, ia memilih untuk tak menampakannya. Apalagi di depan Arsa. "Seharusnya lo bilang dari awal, biar gue nggak perlu vakum basket sampe taun depan."

"Atau waktu itu lo belum jadi pacar Bianca?"

BUG!

Sebuah pukulan lain mendarat di rahang Bara yang satunya. Laki-laki itu sampai meringis kesakitan. Pukulan Arsa begitu kuat. Ingin sekali ia membalas, namun apa daya, satu tangannya bahkan tak bisa ia gerakkan.

"Dari dulu, Bianca milik gue. Siapapun yang berani deketin dia, bakal berurusan sama gue. Inget itu!"

Tanpa mempedulikan Bara yang masih memegangi rahangnya yang ngilu, Arsa membalikkan badan, hendak meninggalkan rumah Bara. Keinginannya membuat Bara kembali patah tulang, ia urungkan, karena laki-laki itu terlihat sudah menyerah untuk mendapatkan Bianca.

"Arsa!" suara Bara membuat Arsa membalikkan tubuhnya malas.

"Gue cuma mau bilang, gue bukan orang yang suka ngerebut milik orang lain. Sekarang, gue mundur. Tapi sekali lo nyakitin Bianca, gue nggak akan berpikir dua kali buat ngambil alih posisi lo di hati dia."

Arsa berdecih. "Jangan harap! Sampai kapanpun, gue nggak akan ngelepas Bianca," ucapnya, lalu kembali berlalu pergi.

Ya, Arsa tak akan pernah membiarkan Bianca lepas darinya.

***

"Bang, elusin kepalanya Ica," rajuk Bianca pada Arial, yang langsung dituruti laki-laki itu. Arial duduk di tepi kasur Bianca, mengelus kepala adiknya penuh sayang.

Malam ini, Bianca dan Arial tidur satu kamar, karena Bianca tak bisa tidur. Bahkan setelah jalan-jalan seharian, ia masih tak juga mengantuk. Alhasil, ia menghampiri abangnya di kamar tamu, meminta laki-laki itu untuk tidur di kamarnya.

"Ayo merem," ucap Arial. Bianca memejamkan matanya, mencoba tertidur.

"Ica, seberapa sayang Ica sama Arsa?" tanya Arial.

"Sayang banget. Kenapa?"

"Nggak papa," jawab Arial lagi. "Kalau dibandingin sama Abang, Ica lebih sayang mana?"

"Sayang dua-duanya, lah!" balas Bianca mantap. "Abang kan kakaknya Ica. Arsa pacarnya Ica. Sayangnya beda."

"Gitu, ya?" gumam Arial, tersenyum.

Bianca bergumam mengiyakan. "Emang kenapa sih, Bang?"

"Nggak papa, tanya aja," jawab Arial. Tangannya masih bergerak mengelus kepala Bianca, berusaha menidurkan gadis itu.

"Ica, kalau suatu hari nanti, kalau Ica lagi sedih dan Arsa nggak ada di sisi Ica, Ica harus inget ya, kalo Abang selalu ada buat Ica. Tinggal telepon Abang, nanti pasti Abang dateng."

Bianca yang mulai mengantuk, hanya bergumam tak jelas. Arial menatap adik sepupunya penuh sayang, memastikan gadis itu sudah terlelap sempurna. Setelah itu, barulah Arial berpindah ke kasur tambahan yang ia pindahkan ke kamar Bianca beberapa saat yang lalu.





Guys mau minta pendapat dong,

cover cerita ini menurut kalian gimana? Udah bagus atau ada yang kurang?
Minta pendapatnya yaa 🥺 thankyouu

BETWEEN LOVE AND LIES ✓Where stories live. Discover now