BLL | 1

65.5K 4.8K 71
                                    

"Ca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ca."

"Ica."

"Ca, jangan ditutup mukanya, nanti nggak bisa napas."

"Ca?"

"Ca buka selimutnya, atau aku marah."

"Bianca!"

Bianca menurunkan sedikit selimutnya sebatas hidung. Ia masih enggan bertemu Arsa, namun ia juga tak berani melawan. Kalau Arsa sudah memanggilnya 'Bianca', berarti sebentar lagi Arsa akan marah. Melihat ada respon dari Bianca, Arsa kembali merilekskan otot-otot wajahnya, menatap Bianca lembut.

"Kenapa ditutup gitu? Kamu nggak mau ketemu aku?"

Bianca mengangguk polos. Jelas ia tak mau bertemu Arsa dulu! Mengingat bagaimana Arsa itu mematahkan kaki laki-laki yang kata Nela —teman Bianca— namanya Gio, membuat Bianca merinding sendiri. Ditambah lagi, kemarin ia kabur dari Arsa saat pulang sekolah. Arsa pasti akan marah-marah sebentar lagi.

Arsa menahan bibirnya untuk tak tersenyum. Tingkah polos Bianca selalu membuatnya gemas. Kepolosan Bianca menjadi salah satu alasan Arsa melindungi gadis itu dari laki-laki yang hanya berniat mempermainkannya. Hanya saja, cara Arsa memang sedikit ekstrim.

"Duduk."

Bianca menggeleng.

"Bianca."

Bianca menurut. Sungguh, meskipun Arsa tak menunjukkan tanda-tanda akan marah besar, tetap saja laki-laki itu terlihat mengerikan.

Gadis itu menyandarkan tubuhnya di kepala kasur, menatap Arsa takut-takut. Arsa duduk di tepi kasur Bianca, tanpa melepaskan tatapannya barang sedetik pun dari gadis itu. Arsa mendekat, lalu mengusap rambut Bianca, berusaha membuat gadis itu tak takut lagi. Dalam hati, Bianca merasa lega karena Arsa tak marah.

"Kenapa kemarin kabur, hmm?"

"Habis kamu serem," cicit Bianca. "Kamu ngelanggar janji kamu kemarin."

Rahang Arsa mengeras. Meskipun Bianca sudah susah payah menyusun kata-kata yang tak menyinggung Arsa, namun ia masih tetap merasa Bianca membela Gio. Arsa tak pernah suka Bianca membela orang lain selain dirinya!

"Kamu belain dia?"

Aduh, salah bicara.

"Bukan gitu, Arsa," Bianca mencoba membela diri. "Tapi kamu emang ngelanggar janji, kan? Kamu bilang nggak akan ngelukain orang lain lagi."

"Tapi dia nembak kamu, aku nggak suka!"

Bianca takut, tapi ia kesal. "Kenapa nggak? Lagian dia cuma nembak, dan aku tolak. Kenapa kamu harus semarah itu? Kamu berubah, Sa! Dulu kamu nggak kayak gini!"

Kebiasaan Bianca, kalau kesal atau marah, pasti menangis. Seperti sekarang ini. Ia terkadang heran, kenapa air matanya bandel sekali? Selalu keluar di saat-saat yang tidak tepat!

BETWEEN LOVE AND LIES ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang