15. Cut Kayla Nazwa Ayuning

386 45 0
                                    

Kayla sedang duduk di bangku kantin saat ini. Tentunya gadis itu tidak sendirian, ada Ivy yang berada tepat di hadapannya. Saat ini adalah saatnya istirahat pertama. Sebenarnya kedua sahabat itu tidak sedang memesan apapun, apalagi memakan apapun, mereka hanyalah duduk berhadap-hadapan dengan pikiran masing-masing.

"Lo kemarin bolos les, Vy?" tanya Kayla tiba-tiba, sontak langsung membuat Ivy tersadar dari lamunannya.

Ivy merasakan ada yang tidak beres, ia rasa ada suatu hal yang Kayla tahu tentang dirinya, tapi apa? Apakah Vanya menceritakan semuanya kepada Kayla?

Ivy berdeham sejenak, gadis itu menetralkan kegelisahannya, lalu mengangguk sebagai jawaban. "Kenapa emangnya?" tanya Ivy penasaran.

Kayla sebenarnya tahu jika Ivy sedang gelisah dan banyak pikiran, ia tak mau membebankan Ivy, tapi ia pikir bahwa Ivy perlu tahu tentang sesuatu yang akan ia sampaikan. Ini semua ada kaitannya dengan Ivy.

"Tante Vanya kemarin cerita ke bokap gue kalau lo bolos dari les, Tante Vanya mohon-mohon ke gue supaya gue bisa lebih memantau lo." Kayla menjeda ucapannya, gadis itu bingung, apa sekarang adalah waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya kepada Ivy?

Ivy mengernyitkan dahinya saat merasa ucapan Kayla menggantung. "Ada apa? Bilang aja kali," sahutnya santai.

"Tante Vanya pindahin gue ke tempat les lo, dia bayarin semua kelas gue, dia yakini orang tua gue kalau lo butuh temen, dia nangis-nangis sampai orang tua gue gak tega."

Ivy mengepalkan tangannya, ia tak habis pikir dengan pola pikir mamahnya itu. Mengapa mamahnya egois? Mengapa mamahnya selalu menuntut lebih kepadanya? Mengapa mamahnya menghalalkan banyak cara?

Masalahnya bukan tentang Ivy yang tidak mau satu tempat bimbel dengan Kayla, masalahnya juga bukan karena Ivy mau mencari teman selain Kayla, bukan itu.

Ivy sangat tahu jika Kayla menyukai tempat bimbelnya yang dulu, karena tempat bimbel itu dekat dengan rumah Aksa, dan Ivy sangat paham seberapa bucinnya Kayla kepada Aksa. Kayla bahkan sampai rela menunda makan siangnya demi makan bersama Aksa pada sore hari.

Kayla bahkan rela menghabiskan waktunya sebelum les bersama Aksa di saat istirahat bimbingan atau apapun. Pokoknya setiap ada waktu, Kayla selalu meluangkannya bersama dengan Aksa.

"Lo tau kan Vy kalau gue udah nyaman banget les di sana, karena di sana deket sama rumahnya Aksa, lo juga tau kalau gue manfaatin waktu luang buat ketemu sama Aksa, entah itu istirahat, sebelum les, maupun sesudah les. Sekarang gue jarang banget ketemu Aksa, Sabtu Minggu aja kita jarang ketemu, terus gue mau ketemu kapan sama dia coba? Gue juga gak berani ngomong yang sebenarnya sama bokap sama nyokap, lo tau sendiri kalau gue backstreet."

Kayla sebenarnya tidak ingin egois seperti ini, ia juga mau membantu Ivy supaya Ivy lebih terpantau dan rajin belajar, tapi Kayla juga tidak mungkin menumbalkan kebahagiaannya bukan? Ia juga ingin setiap saat bertemu dengan Aksa, kekasihnya. Ia juga ingin menjalani hubungan yang sering bertemu dengan Aksa, walaupun hanya di waktu luang saja.

"Gue gak tau lagi sama pola pikir mamah, sebenarnya dia tuh mikirin apa aja sih? Kenapa dia selalu menghalalkan segala cara supaya gue bisa jadi anak yang dia mau? Gue capek, Kay. Gue capek ditekan seperti ini terus. Apalagi masalah keluarga besar, terus juga masalah Natasya." Ivy memegang kepalanya yang pening. Gadis itu memikirkan bagaimana caranya supaya mamahnya mengerti.

"Lo kenapa bolos dari tempat les juga? Tau sendiri nyokap lo nekat, keluarga lo itu orang penting, Vy. Keluarga lo itu keluarga dokter kalau lo lupa. Seharusnya lo mikir dulu sebelum bertindak, seharusnya lo mikir dulu kalau apa yang lo lakuin itu bahaya buat orang sekitar atau enggak. Gue jauh gak ngerti sama jalan pikiran lo, apa susahnya lo mencoba menerima kenyataan kalau lo emang ditakdirkan untuk masuk jurusan MIPA. Apa salahnya lo mencoba menerima semua keinginan keluarga supaya lo gak susah sendiri."

Lagi-lagi hanyalah ceramah yang Ivy dapat. Lagi-lagi hanyalah nasihat yang Ivy dapat. Bukannya Ivy tidak mau menerima kenyataan ataupun menerima takdir, tapi sesuatu yang dipaksakan itu tidak mudah diterima begitu saja, Ivy membutuhkan waktu yang cukup lama.

"Lo sama gue beda, Kay. Lo emang punya keinginan sendiri masuk ke MIPA, lo emang punya cita-cita jadi dokter, sedangkan gue enggak. Lo tau rasanya dipaksa, kan? Semuanya itu gak enak, semuanya itu perlu waktu, dan gue gak tau sampai kapan waktunya gue bisa menerima keadaan. Gue gak tau sampai kapan gue bisa ikhlas menerima takdir gue, ini berat, Kay." Ivy mengucapkan segalanya dengan penuh penekanan. Semuanya sama saja, tidak ada yang bisa mengerti Ivy.

"Gue paham, Vy. Gue tau. Selama ini lo kira gue gak dukung lo? Selama ini lo kira gue gak nyemangatin lo? Harusnya lo buka mata, Vy. Lo gak akan bisa menerima semuanya dengan ikhlas kalau lo gak niat. Lo gak akan bisa menerima semuanya dengan lapang dada kalau lo gak punya itikad kuat. Selama ini lo selalu pengin dimengerti sampai lo lupa kalau ada orang lain yang juga butuh pengertian lo. Lo gak akan pernah bisa maju kalau pola pikir lo masih diam di tempat. Lo gak akan pernah bisa menerima pelajaran dengan baik kalau lo masih punya pola pikir paksaan."

Kayla bangkit dari duduknya, gadis itu berjalan keluar dari kantin karena sudah berhasil mengeluarkan unek-uneknya kepada Ivy. Sebenarnya Kayla tidak ingin seperti ini, Kayla tidak ingin bertengkar dengan Ivy, tapi Kayla juga sebal dengan pola pikir Ivy. Kayla juga sebal dengan pemikiran Ivy yang masih sangat kekanak-kanakan.

Kayla tahu apa yang Ivy rasakan, bahkan sangat tahu. Kayla kadang juga menenangkan Ivy, Kayla juga kadang menyemangati Ivy, tapi jika Ivy terus-menerus seperti ini, Ivy hanya diam di tempat, Ivy tidak akan pernah maju, Ivy akan selalu merasakan menjadi orang yang paling tersakiti.

Kayla sangat tahu jika Ivy sudah sering merasakan sakit hati yang luar biasa dari keluarganya, dari sakitnya dibanding-bandingkan dengan Natasya, dari perjuangan Ivy untuk mendapatkan respon baik keluarga, dari Ivy yang berjuang mati-matian untuk mendapatkan kepercayaan dari keluarga.

Namun semuanya sia-sia, perjuangan Ivy sama sekali tidak dihargai, perjuangan Ivy hanyalah seperti angin lalu, Ivy tetap menjadi prioritas kesekian, bukan prioritas utama. Ivy selalu menjadi yang terakhir dan Natasya yang utama. Ivy selalu menjadi bumi dan Natasya langitnya. Ivy selalu merasa tertekan, Ivy selalu merasa menjadi orang yang tidak berguna.

Tapi sampai kapan Ivy terus menjadikan paksaan sebagai alasan?

***

Hai, Guys! Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, dan selamat malam buat kalian semua yang baca cerita ini!

Terima kasih telah mensupport Luthfi sejauh ini ya! Luthfi sayang kalian semua(づ。◕‿‿◕。)づ

Menurut kalian, Ivy itu seperti apa sih? Pola pikir Ivy itu benar enggak, ya? Atau menurut kalian pola pikir Ivy salah? Kekanak-kanakan?

Have a nice day, Babe!

Xoxo,

Luthfi Septihana🌹

MIPA VS AKUNTANSIWhere stories live. Discover now