11. No Progres

434 49 4
                                    

Hai aku kembali lagi(^^)

Happy Reading, enjoy ya!

***

Ivy memasuki rumahnya dengan tenang, ia melirik jam tangan putih yang melingkar di pergelangan tangannya, pukul sembilan malam. Huh, padahal ini baru hari pertamanya, ia sudah dikurung dalam tempat les yang membosankan, masih ada enam bulan lagi ia menyelesaikan semua ini, menyelesaikan les dengan segala kekangannya.

Itu saja jika nilai Ivy meningkat dan sesuai target orang tua serta keluarganya, jika tidak ya wassalam, Ivy akan seperti itu selamanya.

Vanya sudah pulang dan sedang duduk di ruang keluarga saat ini, tumben sekali pulang gasik, biasanya saja ia pulang saat Ivy sudah tertidur pulas.

"No progres," ujar Vanya yang langsung dapat menghentikan langkah Ivy.

"Maksud mamah apa?" tanya Ivy yang bingung, pasalnya anak pulang malam hari bukannya disambut dengan senang, dengan riang, menawarkan makanan atau mungkin menawarkan air hangat untuk mandi, eh ini malah mengatakan sesuatu yang runyam.

"Tadi kamu ada tes di sekolah, ada guru yang memberitahukan kepada mamah kalau nilai kamu hancur, padahal kamu sudah belajar mati-matian loh, Ivy!" sentak Vanya dengan suara yang naik satu oktaf.

Ivy memejamkan matanya, ia lelah, sangat lelah. Mengapa mamahnya menyambut Ivy dengan seperti ini? Ivy bisa gila, Tuhan!

"Mamah apa-apaan sih? Ivy baru pulang, gak ada niatan untuk nawarin makanan atau air hangat untuk mandi gitu? Ivy baru aja pulang les, baru les hari ini, ya pastinya belum ada progres lah, Mah. Semuanya bertahap, semuanya butuh proses, yang terpenting itu prosesnya, bukan progresnya." Ivy menaruh tasnya ke sofa dengan asal, ia membuka sepatunya juga di sofa tersebut.

"Kalau mamah terus-terusan kaya gini, Ivy bisa stres, Ivy bisa gila, Mah. Seenggaknya mamah hargai perjuangan Ivy, seenggaknya mamah hargai kerja keras Ivy gimana," lanjut Ivy sambil mengacak rambutnya.

"Bagaimana bisa mamah menghargai kamu yang nilainya saja jauh dari kata pas-pasan? Bagaimana bisa mamah menghargai proses kamu yang sama sekali tidak berprogres? Coba lihat Natasya, dia gak perlu les sana sini tapi dia selalu jadi yang terbaik, dia gak perlu pulang malam demi les tapi selalu menjadi peringkat pertama di paralel," sahut Vanya dengan kilatan emosi.

"Natasya, Natasya, Natasya terus! Kalau kaya gitu yang jadi anak mamah Natasya aja, jangan Ivy! Coba sekarang Ivy balikin, lihat Tante Shena apa dia pernah ngekang Natasya? Apa dia pernah mendaftarkan les Natasya sampai semalam ini? Apa dia pernah marahin Natasya kalau nilainya gak stabil? Gak pernah kan, Mah? Jelas gak pernah, itu ibu idaman, gak kaya mamah yang cuma bisanya ngekang tanpa menghargai kerja keras Ivy, gak kaya mamah yang terlalu mengharapkan langit padahal Ivy cuma bisanya bumi," ujar Ivy dengan lirih namun penuh penekanan.

"Mamah egois tau gak? Cuma bisa ngekang, cuma bisa maksa kehendak, cuma bisa marah-marah saat Ivy gak bisa menggapai sesuatu, dan cuma bisa nyalahin anak terus, ngebanding-bandingin anak juga!" lanjut Ivy yang langsung menampar hati Vanya.

"SYLVIA!" teriak seseorang dari depan pintu masuk, Ivy tahu itu, ia tahu betul bahwa itu adalah Vero papahnya.

Pasti papahnya marah besar karena Ivy menjawab ucapan Vanya, pasti Vero marah besar karena Ivy meluapkan segalanya kepada Vanya.

"Kamu bisa gak setiap kali ada masalah sama mamah, bicarain dengan baik-baik, jangan seperti ini. Mamah pasti capek abis pulang kerja bukannya disambut dengan riang malah dibentak!" sentak Vero yang langsung menenangkan Vanya.

Ivy diam, tak bergeming sedikitpun. Ia tak mau menguras tenaga untuk menjawab ucapan papahnya.

"Papah baru aja sampai rumah, baru buka pintu, dan kamu udah menyambut dengan seperti itu? Apa papah pernah ngajarin kamu untuk menjawab ucapan orang tua? Apa papah pernah ngajarin kamu tentang teriak kepada orang tua?" tanya Vero penuh amarah.

"Apa papah pernah ngajarin aku sopan santun? Apa papah pernah sedikitpun ngertiin perasaan aku? Enggak, kan? Aku capek, Pah. Aku capek terus berada di zona seperti ini. Aku tau aku salah karena ngejawab ucapan mamah, aku tau aku salah karena udah ngebentak mamah, tapi aku cuma minta satu aja, tolong hargai semua keputusan aku, tolong hargai setiap perjuangan aku," kata Ivy dengan mengambil ranselnya yang tadi ia taruh di sofa.

"Aku capek, mau istirahat, lanjutin besok aja ributnya." Ivy langsung menaiki satu-persatu anak tangga, gadis itu membiarkan begitu saja kedua orang tuanya yang meneriaki Ivy karena tak sopan.

Sebenarnya mau orang tua itu apa sih? Ivy sama sekali tidak menyalahkan jika orang tuanya memaksa dirinya atau menginginkan hal yang terbaik bagi kehidupannya, bukankah semua orang tua memang seperti itu? Tapi tidak bisakah jika orang tua memberikan anaknya support, atau setidaknya menghargai setiap usaha anaknya?

Bisanya hanya membandingkan saja dengan anak lain, sendirinya tidak mau mengintrospeksi diri sendiri. Apakah memang Ivy yang keterlaluan? Atau bagaimana? Ivy sebenarnya lelah seperti ini. Apakah memang semua orang seperti ini?

Ivy merebahkan tubuhnya di ranjang empuk yang selama ini menjadi temannya, menjadi teman beristirahat dari kerasnya hidup. Percayalah, hidup di keluarga terpandang itu sama sekali tidak enak, banyak orang yang mengatakan jika mereka ingin di posisi Ivy sekarang, padahal sama sekali tidak ada enak-enaknya sama sekali, tumbuh tanpa kasih sayang orang tua, tumbuh di sekeliling orang yang ambisnya bukan main, apalagi menyangkut image keluarga. Ivy saja sampai muak.

TING!

Suara notifikasi ponsel membuat Ivy merogoh saku roknya, tertera nama Natasya yang menghubungi Ivy, Ivy yakin seratus persen jika Vanya mengadu kepada Natasya, pasalnya hanya Natasya lah yang bisa dipercaya di keluarga.

Anastasya Shena: Ribut lagi sama Tante Vanya?

Benarkan dugaan Ivy? Natasya memang selalu menjadi otak dari permasalahan keluarga besar, Natasya memang selalu menjadi kebanggaan, Natasya memang selalu menjadi penyelesaian di balik permasalahan. Ivy iri kepada Natasya, Ivy iri dengan kepercayaan yang keluarga berikan kepada Natasya.

Ivy langsung mengetikkan balasan untuk menjawab pertanyaan Natasya.

Sylvia Ivy: Kenapa? Mamah ngadu lagi sama lo? Apa gue bejad banget ya sampai-sampai gak ada yang percaya sama gue? Apa gue gak bisa jadi lo, Nat?

Anastasya Shena: Vy, lo bisa gak sih menyelesaikan masalah tanpa emosi? Tanpa ngebentak orang tua? Kasian Tante Vanya yang baru pulang kerja, kasian juga Om Vero. Coba deh jangan jadi orang yang emosian.

Sylvia Ivy: Iya, emang gue gak bisa menyelesaikan segala masalah, karena apa? Karena gak ada yang percaya sama gue, semua masalah kan selalu dilimpahkan ke lo.

Anastasya Shena: Vy, coba deh lo introspeksi diri, gak ada orang tua yang gak mau anaknya jadi orang sukses, orang baik, Tante Vanya sama Om Vero pasti melakukan itu semua karena dia pengin yang terbaik buat lo. Jangan keras kepala, jangan terlalu barbar jadi orang, jangan ngebentak orang tua, dosa.

Sylvia Ivy: Terserah, susah ngomong sama orang pinter.

Ivy menghela napasnya gusar, memang susah bicara sama orang pintar, otaknya terlalu melangit, sampai Ivy tak sampai. Terserahlah, Ivy pasrah, ia tak mungkin bisa mendapatkan kepercayaan dari keluarga, jangankan kepercayaan, respect atas perjuangan yang Ivy lakukan saja tidak mungkin.

Terserah mau bagaimana hidupnya mendatang, Ivy sudah lelah memberontak, Ivy sudah lelah mengatakan bahwa ia butuh sedikit saja support system. Percuma, tak ada yang bisa mengerti keadaannya.

***

Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, dan selamat malam buat kalian semua yang baca cerita ini!

Xoxo,

Luthfi Septihana🌹

MIPA VS AKUNTANSIWhere stories live. Discover now