Wattpad Original
There is 1 more free part

14. Tanam Baru

22.1K 3.9K 91
                                    

Aku duduk berhadapan dengan Shifa di depan meja administrasi. Setelah keributan tadi dan Oca sudah lebih tenang, Shifa memanggilku untuk bicara empat mata dengannya.

"Lu tahu kenapa gue ngajak lu bicara kan, Din?" Pertanyaan itu akhirnya terlontar dari mulut Shifa setelah ia hanya diam menatap jemarinya yang mengetuk-ngetuk meja. Mungkin bingung harus memulai pembicaraan seperti apa.

Aku mengangguk mengiyakan. "Sorry, Shif, gue juga gak nyangka bakal jadi kayak gini."

"Kali ini kenapa lagi? Ada yang sentuh rambutnya lagi?"

Aku menggelengkan kepalaku sebagai jawaban tidak.

"Lah, terus?"

Aku terdiam sejenak. Haruskah aku mengatakan semua yang terjadi tadi pada Shifa? Meski berteman akrab, aku tetaplah tidak bisa menebak isi kepala Shifa. Aku takut Shifa nanti membicarakan soal ini pada Ibu Jane dan akhirnya berujung pada pembatalan pendaftaran Oca di daycare ini. Tapi... aku juga merasa tak bisa merahasiakannya dari Shifa. Apalagi kehebohan tadi terjadi di depan anak-anak juga.

Menghela napas sesaat, akhirnya aku menceritakan semuanya pada Shifa dan responnya sama seperti responku saat melihat Oca histeris di depan mataku tadi, shock.

"Ya ampun, kayaknya masa lalu itu anak suram banget kali ya? Jangan-jangan ibunya tuh ibu tiri makanya sampai ditakutin begitu," gumam Shifa.

Aku mengangkat kedua bahuku bersamaan. Aku tak tahu ada kenangan buruk seperti apa antara Oca dengan ibunya, tapi ya bukan berarti karena kenangan itu buruk lantas berarti ibunya adalah ibu tiri. Karena cerita rakyat kuno yang banyak mengisahkan kejamnya ibu tiri, orang-orang jadi membentuk stigma kalau ibu tiri itu kejam. Padahal kenyataannya kan gak sedikit ibu tiri yang baik. Ashanty, Hesti Purwadinata, juga Ririn Dwi Ariyanti bisa jadi salah satu contohnya.

"Tapi, Din, ini udah kali kedua. Apa gak sebaiknya kita bicarakan soal ini sama Ibu Jane? Siapa tahu dia ada solusinya."

Aku menggeleng menolak usul Shifa. Bukan maksudku tak percaya pada Bu Jane, tapi entah kenapa aku merasa tak enak hati jika nantinya keputusan yang akan didapat adalah mengeluarkan Oca dari sini karena dianggap telah mengganggu kenyamanan di daycare.

"Gue minta tolong banget gak usah dikasih tahu Ibu Jane dulu ya, Shif. I'll try to handle it. Seenggaknya sekarang gue tahu kalau dia sensitif sama rambut dan pembahasan tentang mamanya. Sebisa mungkin gue akan menghindari itu supaya gak ada keributan lagi."

Mendengar permintaanku, Shifa hanya terdiam. Aku mengatupkan kedua telapak tanganku di depan daguku. "Please, Shif," mohonku padanya.

Shifa menatapku sebelum kemudian membuang napas. "Maafin gue ya, Din," katanya.

Dahiku mengerut karena perkataannya. "Maaf untuk?" tanyaku. Apa Shifa tak bisa memenuhi permintaanku?

"Niat gue pengin bantu lu dekat sama bapaknya lewat anaknya, gue gak nyangka ternyata malah jadi bikin lu terlibat dalam problematika ini."

Aku terkejut, tapi juga ingin tertawa mendengar pengakuan Shifa. "Ya udah lah, Shif, gue juga gak mikirin ke situ. Santai aja," sahutku. Setelah kupikir lagi kayaknya aku cuma kagum dengan physical appearance Mas Dirham. Layaknya penggemar yang kagum melihat idolanya. Mungkin perasaanku pada Mas Dirham kurang lebih seperti itu.

"Ya udah gini deh, Din, sebagai permintaan maaf gue bakal bantu rahasiain ini supaya gak sampai ke telinga Ibu Jane. Tapi kalau suatu waktu Bu Jane akhirnya tahu juga, then you must ready for it."

Aku mengangguk setuju atas usul Shifa. "Oke," jawabku. Soal nanti akan jadi seperti apa, aku tak bisa memprediksinya, tapi setidaknya waktu yang ada sekarang akan kugunakan sebaik mungkin.

Kepingan DirhamWhere stories live. Discover now