Wattpad Original
There are 11 more free parts

4. Insiden

26.1K 4K 63
                                    

"Maaf, maaf. Kami gak sengaja."

Masih bingung dengan apa yang terjadi, aku mendongak menatap sepasang lelaki dan perempuan─yang kelihatannya sih masih remaja─tengah membungkuk berkali-kali di hadapan Mas Dirham sambil mengucapkan kata maaf. Ini kenapa deh? Udah aku tiba-tiba ditarik, dirangkul, terus sekarang ada dua orang yang minta maaf pula.

"Banyak orang lalu-lalang di sini. Apa pantas kalian dorong troli kencang-kencang begitu?"

Meski bukan aku yang tengah ditegur oleh Mas Dirham saat ini, tapi aku ikut merasa gentar saat mendengar nada tinggi yang sarat akan kemarahan dalam bicaranya. Ya ampun ini orang ganteng-ganteng ternyata seram juga ya kalau lagi marah.

"Maaf, Pak, kita gak bermaksud." Aku bisa melihat anak lelaki itu sedikit gemetar saat mengatakannya.

"Minta maaf sama Mbak ini," ujar Mas Dirham lagi sambil menunjuk ke arahku dengan dagunya.

Eeh?! Kok aku?

Kedua remaja itu kemudian membungkuk di hadapanku sambil mengucapkan permohonan maaf. "Mbak, kami benar-benar minta maaf ya. Maaf banget, Mbak."

Aku tersenyum kikuk dan mengiyakan kata-kata mereka. Meski aku gak tahu apa yang sebenarnya terjadi karena tadi aku sedang memperhatikan Mas Dirham bicara, tapi dari teguran Mas Dirham terhadap dua orang ini kemungkinan mereka mendorong troli dengan kencang sampai hampir menabrak kami─atau mungkin lebih tepatnya menabrakku? Soalnya Mas Dirham menyuruh mereka meminta maaf padaku.

"Iya, iya, lain kali hati-hati ya," ujarku enggan memperpanjang keributan ini.

"Mbak tadi kena gak? Ada yang luka? Biar kami belikan obat luka."

Luka? Ah! Untung saja mereka bertanya itu karena aku jadi refleks memeriksa tubuhku dan akhirnya tersadar kalau aku masih berada dalam rangkulan Mas Dirham.

"Ehm." Sambil berdehem, aku menegakkan posisi berdiriku agar tak lagi condong ke Mas Dirham.

Mas Dirham sendiri sepertinya juga baru menyadari kalau sejak tadi ia masih merangkul tubuhku, sebab saat aku berdehem barusan ia pun nampak terkejut dan menurunkan lengannya dari bahuku dengan canggung.

"Enggak kok gak ada luka. Udah, gak apa-apa tapi lain kali tolong hati-hati ya soalnya banyak anak-anak juga. Pelan-pelan aja," ujarku pada dua orang itu.

"Iya, Mbak, sekali lagi maaf ya. Kami permisi, Mbak, Pak," pamit mereka dan aku mengangguk mengiyakan.

"Dinar, maaf saya gak bermaksud lancang tadi." Segera setelah dua orang itu pergi, Mas Dirham langsung mengatakan itu padaku.

"Iya, Mas, saya ngerti," sahutku. "Ya udah, ayo lanjut ke kasir. Sebelah situ kosong tuh, Mas," ujarku mengalihkan pembicaraan seraya menunjuk meja kasir terdekat dari tempat kami berdiri. Bukan apa-apa kalau dibahas terus yang ada aku bisa jadi salah tingkah.

Mas Dirham mengangguk kemudian membelokkan trolinya menuju meja kasir yang dimaksud. Aku pun mengikutinya dari belakang sambil mengembuskan napas kasar berusaha mengenyahkan momen tadi dari pikiranku agar tidak semakin membuatku grogi sendiri.

"Siang, Mbak, minta di-packing pakai dus ya," ujar Mas Dirham pada kasir yang berjaga.

"Oh, baik, Pak," ujarnya yang kemudian memanggil rekannya meminta bantuan untuk diambilkan dus selagi ia menscan barcode pada tiap produk belanjaan Mas Dirham.

Sambil memindahkan barang dari troli ke meja kasir untuk di-scan, kuperhatikan Mas Dirham beberapa kali menyentuh bahu kirinya dengan raut wajah seperti menahan sakit. Kenapa ya dia? Perasaanku jadi gak enak. Yah, apa jangan-jangan karena refleks menarik aku barusan terus bahunya jadi keseleo ya? Tapi, apa iya sampai segitunya?

***

Semakin kuperhatikan semakin aku merasa kalau memang ada yang salah dengan bahu Mas Dirham. Pria itu berkali-kali menggerakkan bahunya saat tengah menyetir dengan raut tak nyaman dan melihatnya begitu membuatku jadi tak enak hati.

Mengumpulkan nyali, akhirnya aku memberanikan diri untuk menanyakannya langsung pada Mas Dirham. Bukan apa-apa, kalau memang Mas Dirham sakit karena berusaha menghindariku dari tertabrak troli saat di supermarket tadi kupikir aku harus bertanggung jawab. Mungkin aku bisa mengantarkannya ke dokter untuk memeriksakannya dan membelikannya obat.

"Mas, bahunya sakit ya?"

Mendengar pertanyaanku, Mas Dirham yang tengah mengemudi menoleh sejenak ke arahku. "Hm? Oh, ini..." Ia mencengkeram bahunya pelan lalu kembali memegang setir dengan kedua tangannya lagi, "Agak gak nyaman aja sedikit tapi gak apa-apa kok," jawabnya yang kemudian kembali menatap jalan di depannya.

"Karena saya tadi ya? Kalau memang sakit, kita mampir periksa ke dokter dulu aja, Mas. Saya tahu klinik yang bagus di sekitar sini."

Mas Dirham tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Enggak, Dinar, gak apa-apa kok," tolaknya.

"Saya serius, Mas, coba diperiksakan dulu takutnya kenapa-kenapa," desakku.

"Saya juga serius, Dinar," ucapnya pelan tapi tegas. Ya udah kita resmiin nih berarti kalau memang sama-sama serius. Loh, jadi salah fokus kan aku!

"Bahu saya memang sudah terasa gak enak sejak kemarin. Mungkin efek angkut-angkut barang berat pas pindahan," kata Mas Dirham. Entah dia sungguh-sungguh mengatakan itu atau hanya ingin menenangkanku saja.

"Yakin, Mas?" tanyaku yang masih ragu.

Mas Dirham menganggukkan kepalanya. "Iya. Udah kamu tenang saja nanti saya bakal cek ke dokter deh kalau memang makin sakit."

"Maaf ya, Mas." Meski Mas Dirham bilang bahunya sudah sakit sejak semalam, tetap saja itu berarti insiden tadi semakin menambah parah sakitnya.

Mas Dirham menoleh ke arahku lagi, "No need to feel sorry, Dinar. It's not your fault, okay?" ujarnya sebelum kembali fokus menatap jalan di depannya.

Aku tersenyum dan mengangguk seraya ikut mengalihkan pandanganku ke jalanan di depan meski sebenarnya dalam hati ini tetap saja masih ada perasaan bersalah.

"Even the person who made me like this never asks for an apology."

"Apa, Mas?" Aku menoleh lagi saat mendengar suara pelan Mas Dirham bergumam.

"Enggak, gak apa-apa."

Padahal aku yakin betul Mas Dirham bergumam seperti itu. Hanya saja aku tak yakin maksudnya untuk siapa. Jika yang ia maksud membuat bahunya jadi sakit seperti itu adalah dua orang remaja tadi, mereka kan sudah meminta maaf. Atau mungkin maksudnya aku? Tapi kan aku juga sudah minta maaf dan mengajaknya ke dokter.

Ah, entahlah... pikiran manusia itu terlalu kompleks untuk diterka.

***

Kepingan DirhamWhere stories live. Discover now