Masih dengan perasaan mengambang antara percaya dan tidak percaya, Vanta menatap Alvin sekilas. Kalau yang biasa ia lihat, pengunjung di café yang minum alkohol terlalu banyak akan mabuk dan sempoyongan.

Apa benar anak ini masih sober? Dia bakal mengemudi dengan benar, kan? Nggak seperti berita yang pernah ada, kasus penabrakkan selusin manusia karena si pengendara mobil tersebut mabuk parah. Vanta jadi bergidik membayangkannya.

Seakan bisa membaca pikiran perempuan di hadapannya, Alvin kembali meyakinkan, "Gue bakal hati-hati nyetirnya. Jangan kelamaan mikir." Lelaki itu membukakan pintu di sisi kiri mobilnya, "Cepetan masuk. Gue juga mau pulang."

Sebelum Vanta mengeluarkan satu patah kata, cowok berhoodie abu-abu itu sudah keburu mendorongnya masuk ke dalam mobil. Alvin yang menyusul masuk di sebelahnya menyalakan mesin dan memasang sabuk pengaman.

Duduk di dalam mobil cowok yang mengganggunya, bersebelahan dengannya, tidak pernah Vanta bayangkan akan terjadi sebelumnya. Siapa sangka orang yang akan menolongnya di tempat yang jauh dari kampus adalah makhluk abstrak satu ini.

Bukan itu saja, Vanta juga baru pertama kali merasakan duduk di dalam mobil sport mewah seperti milik Alvin. Interior mobil dua pintu itu tidak berbeda dari penampilan luarnya, tampak mengagumkan. Pasti mobil ini sangat mahal.

"Tumben lo nggak naik motor?" Cowok itu memulai percakapan.

"Perlu gue jawab?"

"Kalo nggak, ngapain gue nanya?"

"Sekali lagi, bukan urusan lo."

"Jawaban apaan tuh?"

Vanta memutar bola matanya. Tidak mau meladeni lagi. Dia capek, berharap cowok itu nggak usah mengajaknya bicara. Pekerjaan sambilannya sebisa mungkin tidak ingin diketahui oleh teman kampus. Dia tidak mau dicap buruk karena bekerja sebagai waitres di sebuah café merangkap Bar itu. Pramusaji di café malam sering kali dikaitkan dengan hal yang meresahkan untuk anak kuliahan. Padahal café tempatnya bekerja cuma sebagai tempat santai orang-orang, tidak lebih.

"Ke mana arah pulang ke rumah lo?" tanya Alvin kemudian.

Vanta menunjukkan jalan menuju rumahnya. Beberapa saat mereka hanya duduk dalam keheningan. Keduanya tidak ada yang berniat bicara. Akhirnya Vanta mengeluarkan earphone dan ponsel dari dalam ransel.

Alvin melirik Vanta yang duduk manis tanpa suara. "Denger lagu apa sih lo?" Ditariknya earphone yang terpasang di telinga kanan cewek itu.

Sebelah alisnya naik ketika tidak mendengar suara apa pun dari earphone itu. "Kok nggak nggak kedengeran apa-apa? Rusak ya?"

Ya iyalah nggak kedengaran. Vanta nggak memutar lagu apa-apa kok. Cuma salah satu kebiasaannya menenangkan diri dan supaya dia nggak terlibat percakapan dengan laki-laki itu. Ralat. Maksudnya perdebatan, bukan percakapan.

"Nggak kedengaran? Ni gue besarin volumenya." Saking kreatifnya, Vanta mencari lagu di ponsel, memasang lagu itu dengan volume maksimal. Tidak lupa sebelumnya dia melepas earphone yang dipakainya di telinga kiri lebih dulu.

"Haisss! Sialann!" pekik Alvin sambil melempar earphone milik Vanta. Gendang telinganya nyaris pecah.

"Eh, di sebelah sana belok kiri. Gue turun di situ."

"Rumah lo di situ?"

"Nggak, tapi udah deket. Gue nggak sebodoh itu langsung nunjukkin rumah gue ke elo! Kalo lo tau rumah gue, sewaktu-waktu bisa aja lo kirim bom ke rumah gue," tuduh Vanta asal.

"Heh, elo tuh kalo ngomong nggak pernah disaring dulu ya?"

"Gue bukan tukang saringan." Dia menarik earphone-nya dan menggulungnya ke ponsel. "Stop! Di sini aja."

"Ya, ya, terserah lo deh," Alvin menginjak rem.

"Thanks." Setelah satu kalimat singkat itu Vanta melompat turun dari mobil Alvin, menunggu sampai Alvin pergi dari tempat itu.

"Kenapa diem di situ?" tanya Alvin membuka kaca mobilnya.

"Nunggu lo pergi."

"Ya elah, kayak nggak rela pisah sama pacar aja lo."

Bukannya malu, bukan tersipu, Vanta malah meringis jijik memandangnya. Tolong deh, nggak ada yang sudi jadi pacar dia yang gosipnya maho.

"Udah sana, bawel amat sih jadi cowok!"

Lelaki itu hanya berdecak seraya menutup kaca mobilnya. Setelah Alvin berputar meninggalkan tempat itu, ia berderap menuju rumahnya yang tidak jauh dari sana.

"Udah pulang? Tumben cepet?" tanya mama ketika Vanta tiba di rumah.

"Iya Ma, tadi lebih awal selesainya," Vanta tidak berniat cerita pada mama kalau Alvin yang mengantarnya pulang. Pasti bisa bikin mama berasumsi kalau orang itu sebenarnya baik, dan bla... bla... bla...

Jangan tertipu dengan kebaikan dia yang cuma satu kali, Ma. Ata sih tidak akan percaya sama cowok itu. Cowok yang baru memotong rambunya? Big NO.

Tapi kalau dia tidak percaya sedikit pun, apa yang melandasinya sehingga ia berani duduk semobil dengan cowok itu? Alvin juga yang telah menolongnya tadi. Kemudian teringat Alvin yang membahas soal pacar di depannya.

Ih, amit-amit.

Vanta nggak mau punya pacar kayak dia. Yang ada nanti di-bully tiap hari.

Eh, ngapain ngayal jadi pacarnya cowok otak sengklek kayak gitu?

Astaga....

Ia masih duduk melamun di tempat tidur. Disentuhnya rambut yang sekarang menjadi pendek. "Ya Tuhan, semoga orang itu cepet tobat. Kasian orang tuanya nanggung dosa dia. Yang lebih kasian lagi saya, ketiban sialnya terus. Buat keajaiban apa gitu biar dia jadi baik. Amin." Kemudian ia merebahkan diri, ditariknya selimut dan siap terlelap.

___________________

Ceritanya banyak yang diganti ya? Hehe...

Bersabar ya buat baca ulang, soalnya beberapa bagian awal direvisi.

Btw, udah vote, komen, dan follow belum?

LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]Where stories live. Discover now