1. F O T O

123 20 6
                                    


.
.
.
.
.
.
🎭

Setahun yang lalu

Pulang dengan mengendarai sepedah. Mesta masih nampak berkeringat saat masuk rumah. Tapi seulas senyum masih terpatri di sana. Ia ingin bertemu mama segera. Menunjukan raport dan mendali yang diberikan kepala sekolah kepadanya sebagai lulusan terbaik tahun ini. Tapi langkahnya tertahan. Netranya menangkap kantong sampah di sebelah tanaman mama. Sejak kapan mamanya teledor begini? Bukanya mama selalu membuang sampah sejak pagi tadi?

Lantas remaja bercelana dongker itu menunduk. Mengambil kantong sampah lalu membuangnya. Tapi ada yang mengusik penglihatanya. Mata segelap malam itu memandang dengan dahi berkerut. Memungut foto yang menyembul dari dalam kantong. Senyumnya memudar, berbagai pretensi buruk mulai singgah di otaknya. Kenapa mama membuangnya?

•••🎭•••

Sejuk angin berhembus melewati jendela yang sengaja dibiarkan terbuka satu daunya. Membuat leluasa angin masuk dan memberi kesejukan. Menawarkan kepada manusia dalam ruangan bahwa di luar terlihat lebih menyenangkan dari pada berdiam diri dalam kamar.

Mesta bangkit dari duduknya. Melihat dari jendela kamar. Memandang awan hitam dan angkasa yang nampak muram. Sama seperti apa yang ia alami sekarang. Lalu netranya bergulir dari luasnya angkasa di atas sana pada selembar foto yang nampak lecek. Tergeletak pasrah di atas meja belajar yang nampak berantakan.

Itu foto keluarganya saat ia masih bayi. Foto keluarga satu-satunya yang tidak pernah di cetak besar apalagi di pajang di dinding. Foto yang ia temukan tanpa bingkai di tempat sampah setelah pulang sekolah.

Tanganya terulur menyentuh kaca jendela yang dingin. Merasakanya dalam diam. Otaknya memutar kejadian tadi. Tidak ada sapa hangat yang biasa ia dengar ketika membuka pintu. Semua seolah hilang bersama munculnya foto di tempat sampah. Mama juga tidak ada di rumah. Padahal ia bukan wanita karir karna papa selalu bisa memenuhi kebutuhan mereka, bahkan lebih dari cukup.

Apakah orang tuanya bertengkar? Mesta rasa tidak. Karna papa berangkat kerja bersamaan dengan ia yang pergi ke sekolah, dan baru pulang jam lima sore nanti. Atau papa kembali lagi ke rumah setelah ia berangkat? Jikalau benar seperti itu, apa penyebab mereka bertengkar?

Mesta menjauh dari jendela lalu menghempaskan tubuh letihnya di kasur. Memejam sambil menekan pelipisnya. Semua ini membuat kepalanya pening. Ia ingin memejam namun suara ketukan pintu mengurungkan niatnya.

"Siapa?" Mesta menyahut dengan lemah.
"Ini Ina, Kak," sahut suara dari balik pintu.
Mesta terkesiap, lalu langsung bangkit dari tiduranya. Terlalu pusing memikirkan orang tuanya, membuat ia melupakan adiknya sendiri. Saat Mesta membuka pintu, terlihat gadis kecil berseragam sekolah dasar dengan tulisan angka romawi satu di bagian lengan kiri. Memandangnya dengan mata sembab dan rambut kucir dua yang nampak basah oleh keringat.

Gadis kecil itu mendongak. Menatap netra yang sama seperti yang dimilikinya.
"Mama nggk jemput Ina. Padahal Ina udah tungguin sampe sore. Mama mana, Kak?"
Mesta tidak bisa menjawab. Bibirnya terasa kelu, tiba-tiba ia bisu. Jadi mamanya juga lupa terhadap adiknya? Mesta rasa ada tali tak kasat mata yang mengikat dadanya kencang. Ia sesak melihat adiknya yang nampak lelah.

"Karna mama nggk jemput terpaksa Ina jalan sampe rumah sendiri. Kaki Ina pegel nih." Seolah tidak melihat kakanya bingung. Rina terus saja berbicara dengan suara bergetar ingin menangis. Menyadari hal itu, Mesta berlutut, menyamakan tinggi badanya dengan Rina. Meraih pundak gadis kecil dihadapanya yang sedikit bergetar.

"Mungkin Mama ada acara." Mesta berusaha memberi pengertian, walau ia tahu ia berbohong.

Mata sayu Rina memandang kakaknya. Pandanganya nampak buram, kepalanya juga tiba-tiba berat. Lalu ... gelap. Dengan sigap Mesta meraih badan mungil itu, membawanya dalam rengkuhan. Dan baru ia sadari, badan Rina bersuhu tidak normal. Gadis kecil ini nampak sangat kelelahan. Walau jarak sekolah dan rumahnya tidak begitu jauh, tapi setara Rina, berjalan tetap melelahkan.

Mesta membawa Rina ke kasurnya. Membaringkanya di sana. Melepas atribut yang masih menempel. Rasanya ia ingin menangis. Melihat adiknya demam, dan memikirkan mama yang tak kunjung pulang. Ada apa dengan keluarganya?

Berusaha mengeraskan hati, Mesta beranjak mengambil air hangat dan handuk. Lalu masuk ke kamar Rina untuk mengambil setelan baju. Kembali kekamarnya yang bercat abu. Melakukan apa yang mamanya lakukan kala ia sakit. Mengagantikan baju Rina yang basah oleh peluh. Dan memberinya parasetamol.

Mesta memandang dirinya di cermin lemari pakaian. Dan ia baru sadar, bahwa ia belum mengganti seragamnya. Tapi tubuhnya terlalu kaku untuk di ajak berjalan ke lemari. Dan Mesta kembali berbaring di kasur. Memandang Rina yang memejam dengan mata yang sesekali menitikkan air mata dan bibirnya yang pucat.

Ini sudah beranjak malam. Senja sudah tenggelam sejak lima menit yang lalu. Karna merasa pikiran serta tubuh yang begitu lelah, Mesta jatuh tertidur dengan Rina dalam dekapan.

•••🎭•••

"Kenapa masih pulang! Kenapa nggk tidur saja kamu sama si Vio! Diakan gundik kamu!"

Suara teriakan itu membangunkan Mesta. Diliriknya jam yang sudah menunjukan tengah malam. Rina di sampingnya juga masih terpejam. Mesta mengecek suhu tubuhnya. Sial! Demam rina semakin tinggi saja. Lalu, Mesta turun dari kasur hendak memberitahukan pada mama kalau Rina sedang demam. Menuruni tangga agak tergesa, Rina tidak bisa dibiarkan semakin lama.

Baru kaki kananya memijakkan lantai, dia sudah disuguhkan pandangan yang mengeruhkan hatinya. Papa dengan wajah bengis menjambak rambut mama yang menangis sesenggukan.

"Papa," lirih Mesta. Sungguh, ia tidak sanggup lagi bersuara. Papa melonggarkan genggaman pada rambut mama. Sedang mama berusaha tersenyum pada remaja di hadapanya. Tanpa banyak berkata Mesta maju menghadap papa. Melemparkan tinju berkali-kali sekaligus meluapkan segala amarahnya. Mama memekik terkejut, lalu menarik Mesta menjauh. Mesta sekuat tenaga berontak ingin lepas.

"Jangan nak, itu papa kamu." Mama berucap sambil sesenggukan. Berusaha menenangkan Mesta yang nampak kalap dalam rengkuhanya.

"Apa? Papa? Apakah pria ini masih bisa kupanggil dengan sebutan itu? Masih pantaskah gelar itu buat orang yang sudah nyakitin mama?"

Papa yang belum terima di pukuli sepihak juga nampak geram. Mendorong mama hingga melepaskan rengkuhanya dari Mesta. Dan sebelum Mesta sadar dengan perlakuan papanya, pria dewasa itu meraih Mesta dan menghajarnya kembali. Kali ini Mesta tak sanggup melawan. Bagaimana pun dia hanya remaja tanggung berumur empat belas yang jelas kalah secara fisik dan kekuatan.

Setelah melihat Mesta tak berkutik di bawahnya, papa keluar dari rumah. Ingin pergi sejauh roda mobil membawanya. Mama merangkak mendekat. Melihat Mesta yang di penuhi lebam. Sesenggukan dan terus mengucapkan maaf.

Mesta mengerjap. Berusaha membuka mata dan memandang wanita yang telah melahirkanya.

"Mama, Rina sakit," ucap Mesta sebelum jatuh pingsan.

•••🎭•••

A/N
Maaf kalo banyak salah 🙏
Terima kasih sudah singgah🙇‍♀️


Gadis JinggaWhere stories live. Discover now