cinta di ujung jalan

167 25 1
                                    

.

Ia penasaran dengan blazer biru pemuda di tiang listrik. Kesannya elit, dengan dasi licin dan celana bertepi. Beda dengan gakuran membosankan yang tengah ia pakai sekarang.

Tapi, memang, SMA umum tidak bisa dibandingkan dengan sekolah swasta paling top di kota. Beda dengannya yang kampungan, pemuda berkacamata itu kaum elit yang berjalan di atas aspal mulus, melaju dari tk-sd-smp-sma, berakhir di sebuah universitas top macam Todai. Pemuda berambut halus di ujung sana akan menjadi politisi, atau pengusaha, atau pengacara handal yang menangani kasus korupsi, pekerjaan-pekerjaan yang cuma bisa ia tonton di televisi.

Di depan kombini, ia menyeruput mie instan yang menjadi makan malam hari ini, masih menonton si blazer biru Calon Todai di tiang listrik. Pemuda itu tampak menunggu sesuatu dengan sendu, sesekali melirik jam tangan. Keluarga? Pacar? Teman? Harusnya sekarang sudah terlalu larut untuk para anak baik.

Slurp.

Slurp.

Ada pepatah untuk tidak melihat buku dari sampulnya.

Ia teringat hal itu, menyeruput mie kala menonton sang blazer biru pergi bersama lelaki paruh baya. Tangan gemuk si om-om memeluk pinggang ramping, penuh upaya mengakrabkan diri.

Di benaknya, sang calon pengacara berganti menjadi sosok yang lebih liar, lebih tragis.

Fiksi jaman sekarang memberinya ide-ide drama: siswa miskin di sekolah kaya, harus mencari uang untuk membayar spp. Anak teladan yang butuh pelampiasan seksual karena stres bersaing. Cinta terlarang dengan teman ayah. Korban seorang pejabat hidung belang, menanti pertolongan.

Ia bisa membuang cup mienya dan berjalan ke sana. Namun pasangan yang aneh itu sudah menghilang di ujung jalan, tidak menunggu dirinya menghampiri.

Ia merasa kehilangan, seakan ada kesempatan yang tak terambil.

Almost Love, But Not Quite [BXB]Where stories live. Discover now