Kepingan Empat Sembilan

1.4K 57 9
                                    

PANGERAN Hadid tersenyum lebar saat memasuki kamar istrinya. Hawa hangat yang terasa familier seketika merasuk ke dalam kalbu, memori-memori terendap mulai menampakkan diri di benaknya soal mimpi nan merajai setiap lelap.

"Maaf kamarku kecil."

"Bukan masalah." Ia masih menarik tepi bibir, hati yang dibuncahi banyak kebahagiaan lebih mampu mengontrol diri.

"Kau mau mandi duluan?"

"Kau saja."

Nihala terkekeh tidak enak. "Maaf sebelumnya, tapi aku harus bicara yang pahit dulu padamu."

Pangeran Hadid mengangguk, ia sadar panggilan istrinya sudah berubah jadi lebih akrab daripada sebelumnya. "Aku senang kau membahasakan diri 'aku' ketimbang 'saya'."

Nihala menaikkan salah satu alisnya. "Ah, maaf aku tidak merundingkannya denganmu terlebih dahulu, Pangeran."

"Tenangkan keteganganmu, silahkan bicara apa yang ingin kau katakan, Nihala."

"Ya," dirinya mengedikkan bahu, kemudian mengajak suaminya untuk duduk di tepi ranjang. "Umi pernah memberi tahuku, dalam tapak awal pernikahan, setiap pasangan baiknya membicarakan yang buruk dulu, bukan berarti menyebar aib, hanya saja jaga-jaga agar--"

Pangeran Hadid menghentikan ujaran istrinya dengan telunjuk yang ditempel di bibir gadis itu. "Aku paham."

Salah tingkah, Nihala berdeham. "Pangeran, aku ini pemalas, manja, tidak disiplin, tapi kalau soal jujur--kadang-kadang."

Tawanya terlepas. "Apa kau pikir aku mempermasalahkan itu?"

"Ya, mungkin saja." Ia menggaruk belakang tengkuk yang tidak gatal. "Dirimu sempurna, tidak ada tandingannya dan kau menikah denganku."

Mata Pangeran Hadid memandang istrinya yang geleng-geleng tidak percaya diri. Tangan berurat itu terulur, menangkup salah satu pipi sang gadis. "Kau sudah paham, Tuhan tidak menciptakan makhlukNya secara sempurna kecuali utusanNya. Begitu pula aku yang hadir di dunia ini, bukan berarti tidak membawa kotoran. Aku ini sama sepertimu, manusia biasa di mata Tuhan. Dia tidak menilai hambaNya dari kedudukan, harta, fisik, atau apapun itu, semua sederajat, Dia hanya melihat dari keimanan dan itu terletak di sini--"

Nihala diam saja begitu telunjuk Pangeran Hadid menyentuh lembut bagian kerangka di mana terdapat jantungnya yang berisik.

"Percantik hatimu, Sayang."

Cukup sudah, gadis itu merasa seperti bom yang siap meledak saat ini juga karena banyaknya luapan emosi. Seketika ia memerah, mengantisipasi, kedua tangannya menutup rapat wajahnya.

"Lalu, tunjukkan kecantikan wajahmu hanya padaku." Pangeran Hadid menghalau kedua tangan Nihala dengan pelan, bersama telunjuknya menengadahkan kepala sang istri.

***

"Ah!" Teriakannya histeris tidak mengindahkan tatapan pengunjung lain yang mulai berbisik soalnya.

Bukan.

Bukan karena kehisterisannya, melainkan fakta yang gempar tersebar ke seantero tanah air. Ini hari ke lima terhitung dirinya sah menjabat gelar puteri mahkota Brunei Darussalam dan sudah hari ketiga sekembalinya dari walimah di negeri minyak itu.

Merayan | ✓Where stories live. Discover now