Kepingan Enam

878 67 0
                                    

"TIDAK masalah kau parkir di sini?" Pangeran Hadid ragu, berdasarkan perkataan dari istrinya tempat utama yang akan dikunjungi jaraknya cukup jauh dari posisi Asep diparkiran.

"Ya." Nihala melepas helm. "Kau lihat tidak ada ruang untuk memarkirkan kendaraan lagi."

"Tapi kalau sampai Asep dicuri bagaimana? Letaknya tidak sampai jangkauan mata."

"Tenang, aku sudah mengunci ganda. Lagipula banyak tukang parkir di sini, bukan?" Nihala mengulum senyum walau dalam hati gelisah. Tempat yang mereka datangi ini sedang ramai pengunjung, ia takut kalau momen kebersamaannya harus diusik oleh orang-orang yang mengenali Pangeran Hadid.

Mencoba menenangkan diri, gadis itu memilih melanjutkan perjalanan. Baru saja beberapa langkah, dirinya berhenti.

"Pangeran, kau tahu bihun?"

"Bihun?"

"Olahan mi dari beras."

Pria itu menggeleng, melihatnya Nihala langsung menarik tangan sang suami. "Kalau begitu kau harus mencoba jajanan ini, bahan utamanya bihun."

Sambil mengantre di depan tukang bihun gulung, keduanya berinteraksi, membahas soal Sempur--tempat yang sedang dikunjungi mereka sekarang. Sebagai pribumi dan sudah lama mendiami Kota Hujan, Nihala menjelaskan asal-usul Sempur, sejarah yang membuat Pangeran Hadid terbius mendengarkan karena tertarik.

Nihala benar-benar tidak bisa menahan buncah dalam hati, semuanya benar-benar indah sampai ia tidak rela jika ini hanya mimpi.

Tapi kemudian saat tangannya merasakan sesuatu yang hangat, gadis itu tahu bahwa apa yang sedang dialaminya sekarang merupakan kenyataan. Pangeran Hadid menggenggam telapak tangan Nihala. Begitu nyaman, tangan yang lebih besar darinya menghadirkan rasa aman dalam hati.

***

Segelas minuman dingin nan segar diserahkan di depannya. Pangeran Hadid mendongak lantas menerima. Nihala langsung menduduki diri di samping suaminya sambil menyeruput, menentramkan tenggorokan yang kering sebab cuaca yang terik.

"Pangeran," Nihala memanggil tapi tidak mengalihkan pandangan dari depan. Mereka sedang duduk di Taman Kencana, posisinya tidak jauh dari Sempur.

Berdasarkan kisah masa lalu, Sempur diciptakan sebagai lapangan olahraga sedangkan Taman Kencana dikhususkan untuk duduk santai. Kedua tempat tersebut selama pembangunan ditinjau langsung oleh arsiteknya, Thomas Karsten.

Suasana yang terik difilter oleh pepohonan rindang, angin sepoi menyapu diri keduanya. Pangeran Hadid seperti biasa tidak menjawab, tapi menatapi paras istrinya dari samping.

"Kita bicara santai saja." Gadis itu menenangkan gemuruh hati, walau terlihat biasa saja tetap, hati Nihala berisik dibuatnya. "Boleh aku tahu mengapa Pangeran mau menikahiku?"

Seperti perempuan pada umumnya, sudah tahu kebenaran dari mulut yang lain tetap menuntut dari pelaku utama.

"Aku mencintaimu."

Jawaban singkat itu membuat Nihala mengalihkan pandangan, kedua mata mereka bertemu. "Hanya itu?"

"Aku menginginkanmu." Pangeran Hadid memutus kontak. "Melebihi apapun."

Tidak seperti Sempur, Taman Kencana terlihat sepi pengunjung, mendukung mereka berbicara soal ihwal dalam kalbu yang masih membisu.

"Sebagai seorang pangeran aku tidak mengalihkan isu kalau lingkunganku banyak dikelilingi wanita, bermartabat semua. Tapi menjelang dewasa aku belum bisa menempatkan hatiku pada satu ruang khusus. Sulit sekali rasanya menerima keadaan yang bergelimang harta setiap hari, aku ingin merasakan bagaimana indahnya kebahagiaan sederhana yang jelas tidak melulu soal harta.

Kita tahu, harta tidak bisa membeli bahagia. Sebanyak apapun, karena bahagia bukan materi yang bisa dinominalkan seenak kita punya harta. Hal itu membuat aku melajang sampai usia yang sudah tua ini."

Nihala terdiam, ia fokus mendengarkan lontaran kalimat yang keluar dari bibir suaminya.

"Kemudian beberapa pekan lalu media sosial heboh, banyak akun yang menandaiku dalam satu postingan sama. Awalnya risih, tidak mengerti mengapa postingan itu terus mencuat di notifikasiku. Iseng menonton, di video itulah pertama kalinya aku melihatmu. Iba kurasakan, bagaimana dirimu tergeletak penuh darah tapi masih menyebut namaku. Di posisi itu aku berpikir, apa yang membuatmu memanggil-manggilku?"

"Aku tidak tahu." Nihala bingung, yang ia ingat sebelum kegelapan menghampirinya ia hanya melihat bayangan Pangeran Hadid dengan pakaian kerajaan tengah tersenyum menatapinya, memberi ketenangan sama seperti yang ia rasakan sekarang. "Aku hanya menyukaimu, mungkin terlalu fanatik sampai alam bawah sadarku mengukir dirimu, Pangeran."

"Mungkin rasa sukamu itu mengirim sinyal pada takdir untuk menuliskan kisah kita."

"Ya," Nihala menunduk. "Aku masih belum bisa menerima fakta kalau kau, orang yang kuidolakan bertahun-tahun kini menjadi suamiku. Terlebih kau seorang pangeran."

"Nihala," Pangeran Hadid mengamit lengan Nihala untuk dielus. "Kalau saja statusku bukan pangeran, apa kau masih menetapkan perasaan kagummu padaku?"

"Tentu, bagaimanapun statusmu jalan kehidupan kita sudah seperti ini diaturnya. Jadi, aku rasa hatiku tidak akan pernah berubah soalmu, Pangeran." Nihala tersenyum. "Ceritamu belum selesai."

Tersadar, pria itu lantas tertawa, merasa geli dengan cara yang sederhana. Pada hari itu mereka menghabiskan waktu khusus berdua. Tanpa Abu dan Ananta, tanpa penjaga.

Hampir sebulan mereka menikah, selama waktu itu juga keduanya belum bisa berduaan macam sekarang. Selain karena masa penyembuhan Nihala, Pangeran Hadid juga tidak mau terlalu memaksakan kedekatan karena ia tahu betapa ketetibaan ini berhasil menarik jiwa Nihala.

Meski menikah sudah sebulan tetapi mengetahui sifat keduanya baru terjadi sekarang-sekarang. Baik Pangeran Hadid maupun Nihala bertekad mempererat komitmen ini.

"Nihala, sudah siap ikut aku ke Brunei?"

"Tentu!"

"Sudah siap menyemat gelar putri kerajaan?"

"Tidak," sebelum suaminya tersinggung, Nihala melanjutkan ucapan, "aku hanya ingin menjadi istrimu, mengabdi sesuai perintah agama. Gelar putri kerajaan bukan yang aku tuju selama ini. Yang penting bagiku adalah kesehatan dan kebahagiaanmu, Pangeran."

Pandangan mereka tidak putus, saling menatap, menyelami keanehan yang terasa magis menari-nari di dalam hati. Hari ini indahnya melebihi batas, maka biarkan Pangeran Hadid dan Nihala menyemai cinta mereka.

*****

- bersambung, gulir terus! -

Merayan | ✓Onde histórias criam vida. Descubra agora