Kepingan Enam Belas

470 35 0
                                    

PANDANGAN Nihala tidak lepas memperhatikan Jura yang sibuk memotret menggunakan kameranya.

"Ini terapi modern. Zaman dahulu untuk melepas beban-beban di dalam kepala agar tidak sampai depresi, pasien dianjurkan berendam dalam air, menenangkan ketegangan yang terjadi di otak. Seiring berjalannya waktu, medis menggunakan rehabilitasi, salah satunya menumpahkan melalui hobi." Jura melihat hasil jepretannya.

Sambil memperhatikan, telinga Nihala sigap mendengarkan ujaran pria di hadapannya. "Nihala suka nulis, bisa dijadikan acuan untuk rehabilitasi?"

"Boleh. Kamu suka nulis apa?"

"Nulis di diari, Nihala cinta Pangeran Hadid."

Jura tertawa mendengarnya. "Ada keinginan coba hobi lain?"

"Apa?"

Tidak menjawab, pria itu malah mengarahkan lensa pada wajah bingung Nihala. Dalam sekali, ia sudah menyimpan gadis itu sebagai objek fotonya.

"Ih, Kak Jura, aku lagi nggak kobe." Penasaran, gadis itu mendekati, hendak melihat jiplakan dirinya dalam bentuk dua dimensi.

"Berminat?" Tangan Jura menyerahkan kameranya.

Walau ragu, Nihala juga mendadak tertarik. Ia menerima, dengan ingatan dan ilmu yang dirinya tahu dari televisi, gadis itu mengarahkan mata pada lubang di atas kamera.

"Aku foto apa, dong?" Sambil berputar pelan, Nihala mencari objek yang tepat. Mendadak dirinya berhenti tepat di depan Jura. "Kak, gaya!"

Sok imut, Jura menunjukkan dua jari, pose yang lumrah diketahui banyak orang. Setelah menekan tombol dan cahaya memancar, ia menjauh, melihat hasil potretannya.

"Buram, Kak."

"Sini!" Jura bersiap di belakang Nihala, mengarahkan tangan gadis itu agar nyaman berjibaku dengan kameranya. "Untuk pemula kamu bisa memperbesar pandangan ke layar, sama seperti kamu foto di ponsel, jadi nggak perlu lihat di sini lagi."

Gadis itu diam saja. Ia memasukkan semua ajaran dari Jura soal hal fotografi, di detik ia mulai menyukai dunia dua dimensi, saat itu pula Nihala menetapkan hobi sesungguhnya.

***

"Papa rasa Nihala sudah mendingan, masih kukuh membawanya ke Brunei?"

"Walau psikologisnya membaik, bukannya dengan membuat Nihala ketemu Pangeran Hadid bisa jadi nilai plus?"

Ferdi manggut-manggut. Ini sudah hari ke sekian sejak ia mulai berkontak dengan gadis yang menjadi korban kecelakaan atas perusahaannya. Berawal dari rasa iba, Ferdi mulai menyayangi Nihala, apa-apa yang buruk akan menimpa gadis itu, tidak akan ia biarkan terjadi.

Kendati jarang mengobrol langsung, mengetahui perubahan Nihala mengarah pada poin positif, pria tua itu bersyukur sekali.

Dengan alasan itu pula, Ferdi ragu mengirim Nihala ke Brunei, objek yang menjadikan gadis malang itu terjebak dalam angan tak berkesudahan, hingga walau dalam keadaan koma pun Nihala tidak rela melepaskan entitasnya.

"Papa dengar ulang tahun Raja Hasan kali ini akan diadakan kompetisi, kamu sudah tahu?"

"Kompetisi apa?" Jura menaikkan salah satu alisnya, akhir-akhir ini ia jarang terjun dalam internet, terlalu sibuk bersinggungan dengan Nihala secara langsung.

"Kompetisi fotografi. Raja Hasan akan memberikan hadiah bagi siapa saja yang menjadi juara dalam ajang tersebut. Temanya adalah keistanaan, dengan filosofi yang kuat."

"Nihala harus ikut!" Seketika pria pertengahan kepala dua itu semringah. "Pa, daftarkan Nihala!"

Salah satu alis Ferdi naik. "Kamu asal mengambil keputusan, tak memikirkan pandangan Nihala sendiri?"

"Jura akan bicarakan dengannya, sesegera mungkin."

"Kamu saja belum bicara soal dirinya yang harus pergi ke Brunei, kamu juga belum bicara kalau Nihala akan pergi bersamamu. Ada banyak keputusan yang asal kamu ambil sendiri tanpa rundingan Nihala selaku pemeran utama di sini. Papa mencium sesuatu."

Jura salah tingkah. "Nggak, bukan begitu,  Pa. Aku tahu seberapa besar keinginan Nihala bisa menyentuh Pangeran Hadid dan segala hal seputar Brunei."

Berpura-pura, Ferdi mengangguk menerima alasan yang masih belum kuat meyakinkannya dari dugaan. Ia rasa ada sesuatu yang terjalin tanpa sadar di tengah dokter dan pasien ini. Meski begitu, Ferdi juga tidak mau merusak suasana, sambil bangkit perlahan, dirinya masih melanjutkan pembicaraan.

"Bagaimana kalau kita bicarakan mengenai ini secara langsung sama Nihala? Kita ke rumahnya sekarang."

Lantas antusiasme Jura memancing Ferdi untuk memicingkan mata, curiga.

***

Nihala bergetar ketika tiba di kamarnya. Kedatangan Jura dengan Ferdi sudah berhasil mengejutkannya. Tapi jelas bukan karena Jura, karena ia sering bertemu pria itu. Tujuan epilepsi Nihala sebab adanya Ferdi.

Seorang lansia yang masih bisa dirasakan kewibawaannya itu terlihat begitu ramah, ia juga baru tahu kalau selama ini semua pengobatannya dijamin oleh Ferdi. Rasa berutang budi mampir dalam diri dan berhasil membuatnya gelisah, belum lagi berita yang disampaikan keduanya di tengah pembicaraan tadi.

Ia akan ke Brunei dalam waktu dekat!

Jura bilang, pria itu sudah mendaftarkannya pada lomba fotografi yang diadakan oleh pemerintah sana. Mendadak Nihala pesimis, ia baru saja belajar. Dirinya masih pemula, bagaimana bisa mengikuti pertandingan besar seperti itu?

Terlebih yang mengadakan adalah Raja Hasan, tepat di hari ulang tahunnya nanti. Pasti Pangeran Hadid akan hadir juga di sana!

Nihala kelimbungan, ia mencari cara untuk menolak, tapi merasa tidak enak sebab semuanya sudah diatur oleh Ferdi. Termasuk tiket pesawat dan hotelnya, pria tua itu benar-benar menanggung segala kebutuhan Nihala selama di Brunei sana.

Belum juga menanyakan siapa yang akan menemani, Jura sudah unjuk diri. Padahal Nihala berharap Abu atau Ananta, sekaligus Listy bisa ikut bersamanya meraih mimpi yang selama ini hanya jadi bunga tidur. Kemudian, Nihala sadar diri, ia tidak mengeluarkan sepeser pun, jadi jangan terlalu banyak menuntut.

Walau demikian, ia tetap gugup, berita yang tiba-tiba hadir ini tak sanggup diterimanya, apalagi teringat soal Pangeran Hadid.

Bagaimana nanti?

Apa ia benar-benar akan melihat Pangeran Hadid?

Tapi yang ikut dengannya Jura, minimal saja, ia berharap Listy ikut, jadi ia nyaman untuk histeris. Takut-takut Jura terganggu dengan sikap berlebihannya jika sudah menyangkut Pangeran Hadid. Pikiran Nihala bercabang, keraguan menelusup masuk dalam kalbu.

Apa ia perlu menolak kesempatan ini hanya karena ketidaksiapannya?

*****

- bersambung, gulir terus! -

Merayan | ✓Where stories live. Discover now