Kepingan Tujuh Belas

435 34 0
                                    

"BEGINI, Kak Jura, Nihala bukan bersikap nggak tahu diri, tapi--" Gadis itu memainkan ujung kerudung dengan gugup. Kelas hari ini bersama pria selaku dokter kejiwaannya tidak seperti biasa, kali ini memang santai tapi entah mengapa atmosfernya terasa begitu serius.

"Tapi?"

Nihala memutar mata ke sana-sini, mencari alasan yang mampu diyakini Jura.

Melihat kegugupan dari anak didiknya, pria itu menghela napas, ia sudah bisa membaca apa yang memberatkan hati Nihala menghadapi kesempatannya.

"Kamu mau ajak orang tuamu atau sahabatmu, Listy?"

Kepala Nihala mendongak, tak mempercayai maksudnya tanpa disebutkan sudah bisa dicium oleh kecerdasan Jura. Otak pria itu yang jenius memang patut diacungi jempol.

"Iya, Kak, tapi maaf banget kalau malah jadi membebani Pak Ferdi, maaf." Merasa tidak enak, Nihala mengoreksi. "Tapi nggak apa-apa, deh, Kak, kita pergi berdua juga."

Bukannya marah seperti dugaan gadis itu, Jura malah tersenyum lebar. Ia memahami kesalahtingkahan Nihala atas kepolosan dalam dirinya. "Biar aku yang bicara dengan Papa, jadi siapa yang mau kamu ajak untuk ikut ke Brunei?"

Ia memutar otak, mendengar pertanyaan Jura. "Kalau ajak Abi dan Umi nggak mungkin."

"Kenapa nggak mungkin?"

"Rumah nanti nggak ada yang jaga."

"Nggak perlu dijaga, rumahmu nggak akan lari." Kekehannya terdengar ringan. "Kenapa nggak coba tanya Abi dan Umimu? Siapa tahu keduanya ada keinginan ikut sekalian jalan-jalan?"

Benar juga.

Hari itu, sekembalinya dari terapi bersama Jura, Nihala nimbrung di tengah kedua orang tuanya yang sedang berbincang santai.

"Aya naon ningalikeun kitu?" Ananta menaikkan salah satu alis, melihat pendaran bermakna dari anaknya.

"Abi, Umi, mau ikut Nihala nggak ke Brunei?"

"Ah, mbung!" Belum juga dipikir dulu, sang ibu sudah menyemprot jawaban tegas.

"Ih, naha kitu?"

"Umi sudah membayangkan, ya, ribetnya kayak gimana. Belum ngurus paspor, visa--"

"Brunei bebas visa dua minggu."

"Tetap, Umi mau di rumah aja."

"Ari Umi, teh, meuni tega ninggalkeun budak sorangan."

"Ada Jura."

Jawaban telak sang ibu membungkam Nihala, ia cemberut. Maksud hati baik supaya kedua orang tuanya bisa menghirup udara yang berbeda, tidak melulu memasukkan karbon monoksida dalam paru-paru dari negara tercinta, sekali-kali mencium aroma perairan yang membentang sepanjang negara minyak--Brunei Darussalam.

"Abi, belum ada suara." Kepalanya beralih pada sang ayah yang sejak tadi diam mendengarkan perdebatan istri dan putrinya.

Abu tidak menjawab, ia mengelus kepala anak semata wayangnya dengan penuh kasih. "Pergilah, Abi dan Umi akan menunggu cerita kamu di sini. Nikmati liburanmu, sebagai orang tua Abi dan Umi hanya bisa mendoakan. Siapa tahu Pangeran Hadid jadi jodohmu."

Seketika Nihala berteriak histeris mendengarnya. Seumur-umur dalam masa mengagumi pangeran dari negeri seberang, baik kedua orang tuanya tidak pernah merespon lebih. Sekarang bahkan yang memberi afirmasi langsung adalah Abu.

Bagaimana rasanya tidak senang.

Nihala sekarang tahu, siapa yang harus diajaknya ke Brunei bersama ia dan Jura.

***

"Ya!" Nihala memohon dengan wajah yang dibuat seimut mungkin.

Listy menggigit bibir bawah, berita tiba-tiba yang disampaikan Nihala di satu sisi membuatnya senang, tapi di sisi lain ia juga keberatan.

"Tapi aku nggak ada uang sama sekali, Nihala. Gimana, paspor dan visa belum diurus, tiket segala macamnya juga masih ngambang."

"Pak Ferdi akan urus semuanya, Listy, tenang."

"Ih, aku nggak enak."

"Kamu jahat kalau sampai nolak." Nihala memasang kuda-kuda, ia melipat kedua tangan di depan dada lengkap dengan wajah pahitnya. "Masa aku berdua banget sama Kak Jura?"

"Nggak apa-apa, dong." Listy mengulum senyum, penuh godaan. "Siapa tahu nanti dilamar beliau."

"Ih!" Nihala meneloyor kepala sahabatnya. "Yang benar kalau ngomong, udah tahu ucapan doa. Kak Jura cuma aku anggap kakak doang, kenapa nggak bilangnya dilamar Pangeran Hadid."

"Itu mau kamu aja." Listy menjulurkan lidah. "Serius aku ngerasa nggak enak."

"Ya sudah kalau kamu masih ngerasa nggak enak juga, aku telepon Kak Jura, biar dia sendiri yang ngomong kalau kamu memang boleh ikut."

Listy tidak menahan, ia membiarkan sahabatnya sibuk dengan ponsel, menekan tombol sana-sini hingga tersambung dengan milik pria yang menjadi psikolog Nihala.

"Ya, Nihala, ada masalah?"

"Ini, Kak, Listy lebay, sok-sok-an nggak mau ikut, katanya nggak enak sama Pak Ferdi."

"Berikan ponselmu sama dia."

Diam-diam Nihala menyerahkan benda elektroniknya pada Listy yang kebingungan. Memandangnya, Nihala berbisik.

"Tah, sia, dicarekan."

Tidak mengindahkan kalimat ejekan dari sahabatnya, Listy bersuara.

"Halo?"

"Hai, Listy, kenapa ngerasa nggak enak untuk ikut sama kita?"

"Habisnya aku sama sekali nggak mengeluarkan uang, Kak, nggak enak aja semuanya dibayarin sama Kakak dan Pak Ferdi."

"Ikut saja, uang kalau habis bisa dicari tapi kebahagiaan, pengalaman nggak bisa."

"Tapi--"

"Nggak ada tapi-tapian, terima, ya. Kasihan Nihala sampai datang ke rumah kamu memohon begitu."

"Kak, bukan begitu--"

"Boleh kembalikan ponselnya ke Nihala?"

Jura tidak memberikan kesempatan untuk rasa ragu yang mampir di hati Listy agar berkembang, dengan berat hati meski tujuannya tak didengarkan, gadis itu mengembalikan ponsel Nihala.

"Jadi?"

"Iya, aku ikut."

"Yeay, Brunei, aku datang!" Nihala kegirangan sendiri. Ia mesem-mesem membayangkan apa dan bagaimana kejadian nanti di sana.

Terlebih, ia juga tidak sabar menemui Pangeran Hadid, kalau-kalau takdir begitu baik membuatnya bertemu dengan pria itu.

Pria yang sempat menjadi suaminya.

*****

- bersambung, gulir terus! -

Merayan | ✓Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon