Kepingan Empat Dua

448 35 0
                                    

TAPAK kakinya melangkah lebar-lebar, mengekor sang ayah dengan wajah yang diusahakan minim memberengut. Sesampainya di ruangan Raja Hasan, Pangeran Hadid menghela napas berat.

"Kapan kita akan berangkat?"

Raja Hasan tidak lantas menjawab, pria dewasa itu memutuskan untuk duduk, memperhatikan putranya dengan wajah serius. "Jadi, permintaanmu waktu itu soal pencetakan surat undangan beasiswa kuliah di kampus sini adalah bohong?"

Pangeran Hadid mengerutkan kening. "Tidak, aku benar-benar memintanya untuk aku berikan pada Nihala."

"Lalu, liburan dengan ibumu?" Raja Hasan menaikkan salah satu alis, kedua tangannya terlipat di depan dada. "Seluruh orang yang ada di istana tahu, kau akan pergi ke Indonesia untuk berlibur bersama ibumu."

"Dan Ayah baru saja menghentikannya." Pangeran Hadid membuang wajah. "Bukankah sikap Ayah tadi sangat menggelitik rasa penasaran orang di sini?"

"Dengar." Raja Hasan membenarkan posisi duduk. "Baik kau dan aku sama-sama menyembunyikan satu hal dari sorotan banyak orang. Kau mengumpan ibumu, meski aku tahu itu pembenaran supaya kau bisa mendatangi Nihala juga tapi kau lupa kalau nama ibumu tidak baik di sini, di Brunei."

"Biarkan saja." Decakannya terdengar sebal. "Orang akan mengetahui, seburuk apapun Balqis binti Teuku Ghaissan, beliau tetap ibuku."

"Kau tidak mengerti." Raja Hasan menyandarkan kepala. Ia tatapi putranya, mulai berwajah gelap. "Sekarang pergilah!"

Ia bergeming, tidak bergerak, masih belum mencerna perkataan ayahnya.

"Tadi hanya pengalihan agar orang-orang mengonsumsi informasi bahwa kau pergi rapat kenegaraan di Malaysia."

Mata pria itu terbelalak, rasa senang membuncah di dadanya, tapi sesaat ia menyendu. "Apa Ayah tidak mau ikut saja supaya drama ini lebih menjiwai?"

Hening, tidak ada jawaban atau lebih tepatnya Pangeran Hadid tahu alasan dibungkamnya mulut sang ayah. Maka, dengan mengulas senyum, ia menghampiri ayahnya.

"Aku tahu Ayah orang baik, jadi jangan paksakan hatimu berbuat sesuatu yang bengis. Ikhlaskan, nantinya Ayah akan paham mengapa jalan hidupmu seperti ini." Lantas ia memeluk Raja Hasan dengan erat. "Aku sangat menyayangimu, terima kasih."

Sepeninggal sang putra, pria lanjut usia itu mencengkeram dada bagian kiri. Jantungnya berdentum kuat, hendak lepas dari kerangka. Nyeri yang tak terobati. Kemudian ia berbalik, hendak kembali mendudukkan diri tapi pandangannya jatuh pada foto yang dipotret Nihala beberapa pekan lalu.

Semakin cepat waktu terkikis, semakin cepat pula ia akan berpulang. Segera dan itu janji Tuhan yang pasti, bahwa setiap apa yang bernyawa pasti akan mati.

Lalu satu pertanyaan yang menohok mampir di kepala.

Apa seterusnya Raja Hasan akan membiarkan setan menguasai hatinya hingga mendendam sampai akhir hayat?

Sambil mengelus dada, ia beristigfar. Bagaimana bisa wanita yang berhasil memikat hatinya di bandara berpuluh tahun silam kini malah menjadi orang yang mendapat garis merah di kehidupannya.

Takdir benar-benar kejam, saat membuat kau begitu berarti di satu momen, kemudian di adegan selanjutnya kau menjadi sosok yang paling dibenci.

Satu tetes luruh di tepi matanya yang menyipit karena kerutan, dimakan usia. Raja Hasan tersengut-sengut, tepatnya menangisi rasa yang tidak sewajarnya ada.

Ia bertekad, untuk memperbaiki hubungannya dengan sang mantan istri demi Pangeran Hadid.

***

"Nihala, mungkin kau sudah tahu siapa aku sebenarnya, mengingat wajahmu yang begitu terkejut saat mengetahui nama lengkapku." Balqis menarik tepian bibirnya. "Ah, aku bicara apa, sok terkenal sekali."

"Tidak, Nyonya." Nihala menunduk. "Nyonya benar, saya tahu siapa Nyonya karena saya--"

Ia sengaja menggantungkan kalimat, karena rasanya sangat malu menjelaskan perasaan yang ada dalam kalbunya.

"Saya--" Nihala memejamkan mata. "Saya sudah menggemari Pangeran Hadid dari jauh hari."

Pria itu menaikkan salah satu alis, meski sudah mengetahui fakta barusan, tetap saja rasanya berhasil menggelitik.

"Jadi saya jelas tahu siapa Nyonya, karena segala hal tentang Pangeran Hadid tidak pernah absen saya cari tahu." Nihala memerah. "Ini memalukan, saya minta maaf."

"Tidak apa." Balqis terkekeh geli, ia pandangi putranya yang berekspresi sama. "Apa kau tidak keberatan kalau anakku ikut dengan perjalanan kita hari ini?"

Mau tidak mau, Nihala mengangguk ragu. "Tidak masalah, Nyonya."

"Kita pergi ke mana hari ini?" Balqis tersadar sesuatu. "Karena ada Hadid yang bergabung, baiknya naik mobil saja. Motormu taruh di sini, aman?"

Kembali, ia mengangguk. Nihala kemudian mengunci ganda Asep, tapi sesuatu menahannya dan menyadarkan gadis itu dari sesuatu yang dilupa.

Banyak kilatan dan bunyi rekam jejak dari kamera, alarm tanda bahaya berdenging kencang di benaknya, gadis itu sampai merinding mengetahui kedekatannya dengan Pangeran Hadid dicium publik, lagi.

Melangkah mundur, Nihala hendak berlari, ia mulai kumat, tapi langkahnya tertahan karena lengannya dicengkeram keras oleh sesuatu. Kepalanya menoleh, Pangeran Hadid sudah memandangnya dalam.

"Hiduplah dengan kehidupan yang kau kehendaki, jangan pedulikan kata orang."

Suara Pangeran Hadid waktu di bandara Brunei beberapa waktu lalu terngiang dalam tengkoraknya. Ia memejamkan mata, lantas melepas pegangan tangan pria itu dengan lembut.

"Mereka akan semakin gencar kalau kita tidak segera pergi." Bisikannya melemah. Di satu sisi ia mulai penat, tapi di sisi lain ia tidak mungkin membiarkan janjinya mengawang tanpa ditepati.

Memang beberapa wartawan yang berada tak jauh dari mereka tidak mendekati sekadar memberi pertanyaan-pertanyaan beruntun tanpa mutu, namun Nihala peka, justru di situlah bahaya mengancam.

Ia tidak tahu apa yang akan ditulis media soal dirinya dengan pria di samping, lagi. Yang gadis itu tahu, dirinya harus segera minggat.

***

"Silahkan masuk ke dalam gubuk." Jura memberi ruang bagi Listy yang memerah mendapat perlakuan manisnya.

"Jangan merendah demi meroket, Kak." Ia terkekeh. Cukup terkejut mengetahui Jura sudah berdiri tegap di depan gerbang kampusnya, hendak menjemput. Kemudian debaran itu tidak mau berhenti saat sang pria menawarinya untuk mampir ke rumah.

Di sini ia sekarang, menatap takjub gubuk yang dimaksud Jura dengan mata berbinar. Rumah mewah ini punya banyak fasilitas, terutama kolam renang. Listy bertaruh, sebosannya Jura berada di rumah, setidaknya pria itu punya kegiatan bermanfaat jika kediamannya saja bak Surga.

"Jura!"

Suara berat seseorang menghentikan Listy dari kekagumannya. Mereka menatap heran pada Ferdi yang memasang wajah datar tapi bermakna.

"Ada sesuatu," ucapannya ditahan, sengaja. Tak mau berlama, ia memperlihatkan ponselnya yang menayangkan satu berita.

"Nihala?"

"Pangeran Hadid?"

Jura dan Listy terkejut, masing-masing menyebut nama berbeda. Kemudian mereka bertiga saling pandang, berbeda dengan Listy, Jura tahu apa yang akan dilakukannya dengan Ferdi hari ini.

*****

- bersambung, gulir terus! -

Merayan | ✓Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora