Kepingan Empat Satu

439 41 2
                                    

NIHALA mulai bersiap, hari masih cukup panjang untuk berakhir. Jura sudah pamit pergi, katanya mau menjemput Listy pulang kuliah. Ia pun belum memberikan jawaban soal tawaran yang diajukan pria itu padanya.

Dirinya butuh waktu berpikir. Lantas ia teringat dengan Balqis, menghubungi wanita itu agar rencana mereka hari ini bisa terealisasi.

Sambil memasukkan kamera--yang sudah cukup lama belum disentuhnya lagi--ke dalam tasnya, Nihala mulai meninggalkan rumah sesaat setelah Abu dan Ananta memberi izin.

Diskusi dengan ketiga orang yang lebih dewasa darinya membuat gadis itu bingung menentukan opsi. Di satu sisi ia memang ingin lepas, sepenuhnya, agar tidak sampai teringat lagi dengan pria bernama Hadid Quthni itu, tapi di sisi lain ada bagian dalam dirinya yang tidak rela.

Nihala tak tahu, bagian mana dirinya bisa berpihak.

"Maaf, Nyonya." Tubuhnya membungkuk begitu menjumpai Balqis lagi di halaman tempat penginapannya.

"Tidak apa. Aku justru yang harus minta maaf sampai merepotkanmu segala." Senyumnya terukir. Beruntung juga Nihala inisiatif mengajaknya lagi, kalau tidak wanita itu tak tahu apa yang harus dilakukannya di negara asing ini. "Kita akan pergi ke mana?"

Ia tidak menjawab, tapi merespon dengan satu tarikan bibir. "Apa Nyonya berkenan pergi menggunakan motor saya?"

"Apa kau bercanda?" Balqis mengerutkan kening, ia tatapi penjaganya sambil bertukar pikiran. "Tentu saja!"

***

"Penerbangan tercepat yang bisa digunakan!" Ia memakai jam tangan kebanggaannya sambil mematut diri di depan cermin. Tampilannya tidak heboh seperti orang pergi ke luar negeri pada umumnya. Hanya sebuah kaus hijau lumut yang membalut tubuh kekar berusia itu, dipadu celana bercorak sewarna, rambutnya hanya disisir ke belakang.

"Pangeran, apa terlalu mendadak?"

"Tidak." Ia menjawab tak acuh.

Ketika sibuknya berdandan, tiba-tiba dua orang menyelinap masuk tanpa izin ke kamarnya.

"Aku rasa otaknya sudah dijual." Kedua tangannya melipat di depan dada.

"Akalnya." Koreksi sang kakak. Mereka menatap penuh selidik pada Pangeran Hadid yang juga memandang mereka melalui pantulan kaca.

"Kalau untuk berbasa-basi aku tidak punya waktu."

"Apa kau sudah gila?" Safna mendelik. "Kau sudah izin pada ayahmu?"

"Aku sudah besar, tidak perlu izin."

"Bagaimana dengan adab terhadap kedua orang tua? Walaupun kau sudah besar, baiknya tetap izin, agar ayahmu juga tahu keberadaanmu dan tidak mencari-cari." Abian memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.

"Tidak kau rasa kalau keputusanmu ini begitu buru-buru, bukankah masih ada hari esok?" Safna tidak habis pikir.

Abian mengangguk sambil mencebikkan bibir. "Dia sedang jatuh cinta."

"Aku ke Indonesia karena ibuku." Ia berkilah, tapi tidak ahli sampai Safna dan Abian menahan tawa.

"Berhenti berdusta." Kaki jenjangnya berjalan mendekat. "Akui saja hatimu tanpa perlu menampik."

"Kau bicara apa?" Pangeran Hadid gusar, ia merasakan wajahnya memanas, entah mengapa.

Melihat hal tersebut, Safna semakin gencar menggoda. "Kau jatuh cinta."

"Tidak!"

"Tuan Muda, mohon maaf, apa Anda terserang demam?" Pelayan panik menatap Pangeran Hadid yang sudah seperti kepiting rebus.

Merayan | ✓Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz