Aksi 27 - Kondisi Kita Sekarang

Mulai dari awal
                                    

Selama itu, telunjuk Norta berpindah dari satu sepatu ke yang lain. "Saya bingung, saya resah. Bantu saya buat ngecup. Satu, dua, tiga, yang mana harus saya...."

Norta menutup matanya. "Cup!" Lalu membuka matanya. "Nah, ini. Saya pilih sepatu ini, Teh!"

"Bagus...." Oceana manggut-manggut. "Lebih bagus lagi, kamu pilih tiga-tiganya."

"Ya ampun, Teh. Jangan mulai lagi dong."

"Kenapa coba?" Mata Oceana terpaku pada kuku miliknya. "Ngabisin duit buat beli tiga sepatu di sini nggak bakal jadi masalah, lho. Anggap aja kamu bantu saya ngabisin duit karena bulan ini saya mager belanja. Lagian harga sepatu di sini rata-rata 2 atau 4 jutaan. Eum ... cukup affordable lah."

"Teteh mah, di mana-mana orang pada suka hemat jajan biar nabung. Eh ini, malah ngabisin uang. Malah minta bantuan orang pula ngabisinnya."

Cibiran Norta bikin Oceana memiringkan senyumnya. "Kamu belum tahu aja gimana Mami saya sih. Beliau bakal marah kalau pengeluaran perbulan saya di bawah 10 juta."

"Astaga...." Mata Norta kedap-kedip. "Saya mendadak jiper kalau mau sandingan sama Teteh. Udahlah, kayaknya saya harus relain Teteh buat Mas Lix. Keadaan maksa saya buat jadi umbi-umbian di hadapan Teteh."

Oceana tertawa.

Sambil memegang sepatu yang dipilih, Norta bangun. "Kamu, sepatu, saya pilih kamu berdasarkan pertimbangan yang amat berat. Lebih berat dari perkara Dilan soal nahan rindu. Ada dua kandidat sepatu yang rela nggak rela harus saya buang. Demi siapa? Ya, kamu. Jadi ... kamu jangan berani-beraninya buat ngecewain saya, ya!"

Dengan aksi Norta yang begitu, sudah tidak buat Oceana bingung lagi. Norta laki-laki yang unik. Dia juga tidak pernah malu buat jadi dirinya sendiri ketika bersama orang lain. Namun, yang namanya manusia, kadang ada—yang suka lupa memanusiakan manusia lain.

Maka, saat ucapan Norta memengaruhi orang lain untuk menoleh risih, Oceana membalas, "Nggak sedikit dari mereka yang berusaha keras buat melihat dunia. Tapi kalian yang punya mata, kok, melihat manusia lain secara nggak manusiawi gitu?"

Mereka gelagapan dan buru-buru kabur.

"Teh...."

"Nor, santai," kata Oceana. "Kalau kamu mikir saya emosi atau apa-apa, hapus sekarang. Karena kamu bakal kena remedial. Saya biasa aja." Maju selangkah, Oceana menepuk sekali bahu Norta. "Saya cuma nggak suka cara mereka yang menganggap beda itu aneh. Bukan unik."

"Saya lebih ke bodo amat sih, Teh," balas Norta. "Karena gimana, ya, jadi manusia itu kadang serba salah. Jadi manusia yang berhati iblis, dikatain macem-macem. Pas jadi manusia berhati malaikat, nggak sedikit juga yang mereka julit sana-sini. Intinya, Teh, hidup kita bukan sebatas dengerin omongan orang. Karena nggak bakal habis."

"Saya juga nggak suka dengerin omongan orang ke saya, Nor. Tapi sumpah, kalau itu udah urusannya sama orang, apalagi yang kenal sama kita...," jeda Oceana. "Saya nggak bisa. Kayak naluri saya langsung bergerak buat lindungi mereka gitu. Aneh kan saya sok heroik gini?"

Saat ingin menjawab, Norta lebih dulu teralih oleh getaran ponsel dari saku celananya. Oceana mengernyit, tidak tahan buat menebak. "Kali ini apa lagi mau dia? Dari Lix kan?"

"Lah? Teteh kok bener tebakannya?" Norta menunduk lagi. "Ada tiga pesan, sih. Sebentar, saya baca dari yang atas dulu, Teh. Oh, yang satu, cuma manggil nama saya doang. Nah, kalau kedua...."

Pop the QuestionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang