27. Bekas Luka

275 41 2
                                    

Kedua pemuda itu menuju ruang tahanan. Mereka akan menanyai Ibu Kepala pemilik Mohabbatein. Wanita bertubuh bongsor itu berlutut di lantai kotor oleh jerami berserakan. Dia tidak hentinya menangis ketakutan. Tangannya menengadah dan bertangkup memohon. “Hamba tidak tahu apa-apa soal rencana Lavanya, Yang Mulia,” rengek Ibu Kepala ketika melihat Rajputana memasuki ruangan.

Pemuda itu duduk di kursi kayu yang disediakan khusus untuknya. Rajputana menyengir sinis. “Masih menyangkal keterlibatanmu? Jika kau sangat ingin bebas kau seharusnya memberi informasi yang berguna. Kau menukar penari bertopeng dengan penari baru, itu sudah bentuk perbuatan yang mendukung tindakan Lavanya,” sindir Rajputana.

“Lavanya kerabat jauh hamba, karena itulah ....” Lidah Ibu Kepala langsung kelu tidak bisa mengungkapkan bahwa alasan utamanya mengirim Lavanya sebagai selir agar dia bisa menjadi kerabat dekat pangeran. “Hamba tidak menyangka−”

“Selama puluhan tahun Mohabbatein menyajikan hiburan dan wanita-wanita pendamping yang baik, saya percaya Mohabbatein selalu mendukung Kekaisaran Singh,” potong Imdad. Rajputana mendelik tajam padanya, sehingga ia melanjutkan. “Kejadian kali ini mungkin masih bisa ditoleransi, Yang Mulia. Ini adalah murni kecerobohan Ibu Kepala,” ucapnya sambil membungkuk pada Rajputana.

Rajputana mengangkat dagu dan sudut matanya menyeret Imdad, menyangsikan ucapannya.

Imdad segera membeberkan temuannya. “Salah satu penari memberi kesaksian bahwa dia melihat Ibu Kepala melarang Lavanya membawa pisau itu dan menyimpannya. Namun pelayan Lavanya mengambil pisau itu lagi dan menyerahkannya pada nonanya. Untungnya kami berhasil menangkap pelayan itu tepat waktu ketika dia sedang berniat kabur dari Mohabbatein. Kami akan menggali informasi lebih dalam dari wanita itu.”

Rajputana terlihat menarik napas lega lalu bersandar tenang. “Baiklah, karena kau berkata begitu, kurasa kita tidak ada alasan lagi menahan Ibu Kepala.”

Ibu Kepala berhenti menangis. Dia masih tegang, ketakutan akan keputusan nasibnya hari itu. Dia mencuri pandang pada Imdad. Pemuda itu tengah beradu pandang dengan sang pangeran.

“Terima kasih, Yang Mulia. Kebijaksanaan Anda akan memakmurkan wilayah Rajpur.” Imdad membungkuk hormat.

Rajputana bangkit dari kursi. “Kalau begitu aku selesai di sini,” ujarnya tiba-tiba. “Aku percaya panglimaku tidak akan membuat penilaian yang salah.” Ia lalu meninggalkan ruang tahanan diiringi dua pengawal.

Imdad kemudian menatap Ibu Kepala. Wanita itu mematung di posisinya dengan mata mengerjap-ngerjap tidak percaya. “Saya akan mengantar Anda pulang, Nyonya. Anda bebas dari segala tuduhan,” ujar Imdad dan mendengar ucapan itu, Ibu Kepala segera bersujud di kakinya. “Oh, Tuan Imdad, terima kasih yang tak terhingga padamu, Tuan,” ujarnya. Dia menghujani Imdad dengan puji-pujian.  

Imdad mengantar Ibu Kepala ke Sanggar Mohabbatein menggunakan kereta kuda. Mereka berdua berada dalam kabin dan duduk berhadapan. Imdad memandang ke arah luar jendela terus menerus. Beberapa kali Ibu Kepala membuka mulut ingin berucap sesuatu, tetapi tidak jadi hingga Imdad menegurnya. “Apa ada sesuatu yang ingin Anda katakan, Nyonya?” ia memandang Ibu Kepala sekilas lalu kembali menatap langit cerah di luar sana.

Agak gugup Ibu Kepala bertanya, “Siapa penari yang memberitahu Anda soal belati itu, Tuan Imdad. Sungguh, saya tidak menyangka akan ada orang yang bersaksi untuk saya.”

“Chandni,” jawab Imdad tanpa menoleh. Ibu Kepala termegap, tidak menyangka nama itu akan disebut. “Dia gadis yang suka sekali mencuri dengar pembicaraan orang, bukan?” gumam Imdad.

Play In Darkness 2: The Beginning (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang