9: Gadis Cerewet

412 45 1
                                    

Nyaris telanjang, tubuh mulus dan berlekuk indah, seorang diri di alam indah dan tidak sadarkan diri; laki-laki mana pun akan terbit syahwatnya dan jika ia bukan orang terpandang, khilaf sedikit saja gadis itu mungkin segera ditungganginya. Imdad mengusap wajahnya dengan kasar. Baru kali ini ia merasa serba salah berhadapan dengan seorang perempuan.

Sekeras apa pun usahanya menahan diri, ia tidak dapat menahan pandangannya meniti tiap jengkal tubuh gadis itu dengan matanya. Dari puncak kepala dengan rambut basah berkepang, hingga pergelangan kaki berhias sebuah gelang keemasan selebar jari dengan detail ukiran unik. Hanya ketika gadis itu mulai sadar dan bergerak lemah, Imdad mengalihkan pandangannya.

Gadis itu duduk tergegau lalu mengernyitkan tubuh seraya melekap lengannya yang terluka. "Aduuuh, sakit ...," erangnya. Chandni melirik bahu kanannya dan melihat lukanya telah dibebat. Matanya beralih menghunus pria dengan penampakan menerawang sosok serigala itu. "Laki-laki kurang ajar! Kau melukaiku, kau harus bertanggung jawab!" protesnya.

Imdad bersedia bertanggung jawab, tetapi ia tidak terima disebut kurang ajar. "Bocah tidak tahu sopan-santun!" bentaknya. "Kau seharusnya berterima kasih padaku, bukannya memakiku. Jika bukan aku yang menemukanmu kau pikir kau masih bisa bersuara? Apa kau tahu betapa berbahayanya bagi seorang perempuan tanpa perlindungan berada di tengah hutan seorang diri. Kau bisa dimangsa binatang buas atau diperkosa dan dibunuh tanpa seorang pun tahu keberadaanmu." Ia mengamati gadis itu dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan sorot mencemooh dan membuat mimik masam. "Aku yakin sekali kau bahkan tidak tahu jalan keluar dari hutan ini," tudingnya.

Gadis itu membisu. Bibirnya saja merengut dan hidung berkedut-kedut mendengkus. Bagi Imdad gadis itu tidak ada manis-manisnya sama sekali. Mirip monyet piaraan yang marah tidak diberi pisang. Imdad terang-terangan memelototi tubuh gadis itu lagi dari puncak kepala sampai ujung kaki, lalu balas mendengkus, "Aku tahu siapa kamu. Kamu salah satu penari di Mohabbatein," sentaknya.

Menyadari tubuhnya diamati lekat, Chandni merapatkan jubah beledu di pundaknya. Bibir Chandni menjadi ceper serupa mulut bebek mengejek laki-laki itu. Dia tidak mau mengakui asal-usulnya, tetapi bersungut jengah. "Bisakah kau mengantarkan aku pulang? Aku harus kembali ke sanggar sebelum gelap."

"Ooo, jadi aku benar. Kau memang tinggal di sana." Imdad senang mengetahui hal tersebut. Laki-laki itu menyeringai.

Imdad memautkan jarinya ke gelang di pergelangan kaki Chandni. Gadis itu menjengkit menahan sakit. "Gelang ini sangat unik dan aku rasa satu-satunya yang pernah kulihat. Aku mengenali gelang ini di kaki penari Kathak ketika roknya terangkat saat dia berputar. Kau adalah gadis itu. Penari bertopeng."

Chandni membuang muka. "Memangnya kenapa kalau aku penari bertopeng? Toh banyak gadis lain yang bisa mengenakan topeng itu dan menari."

“Tidak kenapa pun. Aku hanya bertanya-tanya. Sekarang aku tahu alasannya kau harus mengenakan topeng,” pungkas Imdad.

Candni memalingkan wajah untuk menatap laki-laki itu. “Oh, kenapa?” tanyanya.

“Karena ternyata ... kau sangat jelek!”

Gadis itu kembali mencebik. Sebagai ganjarannya, Imdad tertawa penuh kemenangan.

“Oh, ya, terserahlah!” sahut Chandni. “Kau pun tidak lebih tampan dari seekor anjing,” balasnya.
Melihat wajah gadis itu mencibir, Imdad gemas padanya. “Kasar sekali. Aku tidak menyangka ada perempuan bisa bicara umpatan. Lidah memang tidak bertulang. Sesekali kau patut menggigit lidahmu sendiri agar belajar berkata-kata lebih hormat pada orang lain.”

Chandi malah melawan dengan membelalakkan matanya pada pria itu. Dia bisa melihat jelas hidung bangir dan mata cokelat di bawah kelopak teduh. Laki-laki yang rupawan dengan alis tebal menghunjam di balik selubung tipis sosok serigala, moncong panjang dan gerigi tajam di sela rahang.

Chandni tidak merasa bersalah. Dia mengungkapkan apa yang dilihatnya.

“Kau yang mulai. Kau menyebutku jelek!” balas Chandni. “Dengar, aku mungkin bukan perempuan tercantik, tetapi aku cukup yakin tampangku cukup menarik.” Chandni mangut-mangut pongah memuji dirinya sendiri.

“Sudah jelek sombong pula rupanya,” ringis Imdad.

Gadis itu mengangkat dagu dan membusungkan dada. “Aku akan sombong selama sombong itu belum dilarang,” sahutnya.

Imdad semakin geregetan. Ingin sekali ia membungkam mulut bacar gadis itu. Alih-alih membalas ucapannya, Imdad tertawa gelak. Melawan omongan gadis ini mungkin akan jadi perdebatan tanpa akhir. “Jadi, apa yang dilakukan gadis penari di hutan seorang diri?” selidiknya.

Chandni tidak ingin mengungkapkan kejadian sebenarnya. Dia bicara dengan tangan dilakonkan. “Aku dikirim ke sini untuk menikmati alam bebas. Aku adalah kupu-kupu yang lama terkurung dalam perangkap kaca. Aku harus terbang untuk melihat lebih jauh dunia yang luas ini, mencicipi aneka madu di putik bunga, merasakan manisnya angkara dan pahitnya asmara.”

“Pfffthhh!” tawa Imdad menyembur, terguling-guling di bebatuan. Gadis itu merengut melihatnya. Sekarang Imdad yakin gadis itu sedang dalam pengaruh candu atau semacamnya.

“Hei, jangan menertawakanku!” tegur Chandni. “Ingat, aku korban di sini. Kau harus bertanggung jawab atas luka yang kau buat di tubuhku.”

Imdad menahan tawanya. Dengan senyum terkulum ia merangkak mendatangi gadis itu hingga ujung hidung mereka berdekatan.
Chandni tidak bisa beringsut karena sebelah kakinya sakit. Dia mengancam laki-laki itu. “Awas kalau berani macam-macam denganku. Pamanku akan menghajarmu dan meremukkan tulang-tulangmu.”

Imdad berkelit menyemburkan tawanya lagi. Tidak ada seorang pun berani melawan jika mengetahui siapa dirinya. Ia melirik gadis itu yang segera memandang ke arah lain. Ia tidak menyangka di balik topeng penari yang anggun banyak dielu-elukan para pria itu adalah seorang gadis lugu yang suka bicara omong kosong.

Chandni berlagak tidak tahu menahu. Apa mau dikata, posisinya saat itu benar-benar tidak menguntungkan. Hanya hatinya mengatakan pria satu ini sepertinya bukan orang jahat.

Imdad mengembuskan napas lega setelah kebanyakan tertawa. Ia berdiri dan memunguti busur serta kantong berburunya. “Ayo, ikuti aku. Aku antar kau pulang,” katanya. Ia memanggul busurnya dan siap melangkah, akan tetapi gadis itu bergeming.

Imdad menoleh lagi pada gadis itu dan terenyak bertatapan dengan mata bundar berkaca-kaca. “Ada apa lagi?” Imdad menatap langit. Matahari sudah condong ke barat. “sebentar lagi hari gelap. Apa kau tidak ingin pulang?” Lagi-lagi ia berhadapan dengan tatapan memelas gadis itu, seperti tatapan anak kucing yang kelaparan, memohon diberi makan.

“Aku tidak bisa bergerak. Kakiku sakit dan badanku sakit. Semua karena ulahmu dan kau mengharapkanku berjalan menyusuri hutan menggunakan kakiku sendiri? Kau kejam, tuan, sungguh kau tega berbuat itu pada gadis tidak berdaya sepertiku ....”

“Ha.” Imdad terperangah. Imdad menarik napas dalam-dalam. Selama gadis ini berada bersamanya, selama itu pula ia berada dalam posisi serba salah. Imdad berdoa dalam hati semoga pertemuannya dengan gadis ini adalah berkah, pertemuan yang telah diatur sedemikian rupa oleh Yang Maha Kuasa.

Imdad mendatangi gadis itu lalu berjongkok memunggunginya. “Naiklah ke pundakku,” suruhnya. “Aku akan membawamu sampai ke kudaku.”

Dia tidak punya pilihan lain, ‘kan? Chandni menaiki punggung kokoh laki-laki itu, menautkan tangan di pundak lebarnya dan kedua tungkai merangkul pinggang yang perkasa.

Imdad membopong gadis itu dan berjalan mantap. Tonjolan kembar dada gadis itu menekan punggungnya. Kungkungan tubuh dan kedua kakinya begitu hangat. Tubuh gadis itu tidak terlalu berat. Justru yang membuatnya keberatan adalah memanggul beban berahi dalam tubuhnya sendiri.

Oh, khuda hafiz, Imdad-ji!
*
*
*

Play In Darkness 2: The Beginning (END)Where stories live. Discover now