Dava menggelengkan kepala, "faktanya memang begitu. Kisah yang kamu lalui itu panjang banget dan kamu bisa mengatasinya sendiri. Meski sulit, dan kamu sama sekali gak mengingat bagaimana kronologisnya, kamu tetap disini dengan perasaan yang sama seperti bertahun-tahun yang lalu."

Bukan dengan perasaan yang sama, Vanilla hanya mengandalkan perasaannya ketika menjadi Vannelica. Di saat itulah ia kembali memiliki perasaan terhadap Dava seperti perasaannya terdahulu. Untuk orang yang kehilangan ingatan seperti Vanilla, sangat sulit memiliki perasaan yang sama pada orang yang sama pula.

Jujur, hingga sekarang pun Vanilla masih merasa asing dengan semuanya. Terhadap keluarganya pun Vanilla merasa asing. Namun Vanilla tidak mau menunjukkannya. Vanilla mencoba untuk bersikap senatural mungkin agar ia terlihat seperti sudah terbiasa dengan semua hal. Termasuk dengan keluarganya, sahabat dan teman-temannya, terlebih terhadap Dava.

Vanilla menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Ia melepas genggaman tangannya pada tangan Dava seraya berkata, "aku mau istirahat duluan deh. Terlalu banyak pikiran yang buat kepala ku sakit," ujarnya. Dava pun hanya menganggukkan kepala dan membiarkan Vanilla masuk.

♥♥♥♥

"Dav, gue mau ngomong sama Lo."

Kehadiran Jason mengejutkan Dava yang sedang melamun sembari menatap layar laptopnya. Ia melirik jam yang menunjukkan pukul satu dini hari, dan ia tidak bisa tidur.

"Ngomong apaan?" tanya Dava sama sekali tidak beranjak dari kursi yang di duduki.

Jason tidak menjawab. Ia terlebih dahulu mengecek kamar Dava, memastikan bahwa Vanilla benar-benar tertidur agar tidak ada yang mendengar percakapannya dengan Dava. Setelah itu Jason memberi kode pada Dava agar mengikutinya.

"Sudah punya keputusan untuk hubungan kalian?" tanya Jason membuka percakapan.

Dava menghela napas. "Kenapa tiba-tiba semua orang nanya tentang kejelasan hubungan gue dan Vanilla sih?" ujarnya sedikit kesal. "Kalian gak percaya sama gue?" lanjutnya.

"Bukan gak percaya..." Jason menggantung kalimatnya sejenak, "gue gak mau Lo terlalu lama mengambil keputusan."

"Gue udah bilang kan, kondisi saat ini sama sekali gak menguntungkan untuk gue dan Vanilla. Perusahaan gue lagi di ujung tanduk, dan kalau gue melamar Vanilla sekarang... Pertama gue jelas akan kehilangan perusahaan, dan yang kedua kemungkinan Vanilla untuk di terima orangtua gue kecil. Gue gak mau mengulang kehidupan Vanilla yang dulu."

"Bagi Vanilla perusahaan bukan segalanya. Kalaupun Lo kehilangan perusahaan lo--"

"Masih ada Vanilla yang bisa menopang kehidupan gue?" potong Dava.

"Bukan gitu--"

Dava tertawa, "gue tahu harta kalian gak akan habis tujuh keturunan meskipun perusahaan kalian collapse."

"Itu harta orangtua, bukan harta gue dan Vanilla."

"Tetap akan jadi milik kalian setelah di wariskan."

Jason langsung menatap Dava kesal. Ia menggaruk kepalanya frustasi karena pemikiran Dava yang terlalu jauh. "Gini deh, gue kasih Lo waktu satu tahun dari sekarang. Kalau gak juga kasih kepastian untuk Vanilla, gue gak akan pernah kasih restu untuk kalian berdua."

"Yang gue butuhkan adalah restu orangtua kandung Vanilla, bukan restu Lo."

Tak bisa di tahan lagi, Jason langsung memukul kepala Dava hingga membuat Dava meringis. "Apaan sih!" omelnya menatap Jason tajam.

"Gak butuh restu gue kan?" Jason mengulang kalimat Dava. "Oke, kalau gitu gue gak akan bantu perusahaan lo."

Dava langsung membelalak mendengar ucapan Jason. "Lo mau bantuin gue?" tanya-nya.

"Demi Vanilla," jawab Jason. "Sejujurnya gue benci sama lo, tapi karena Vanilla cinta mati sama Lo, gue gak bisa berbuat apa-apa."

Jika di ingat kembali, Jason memang sangat membenci pria di hadapannya sekarang. Setiap kali melihat Dava, rasanya Jason selalu terlempar ke masa lalu. Namun Jason berusaha tidak menunjukkan kebenciannya, demi Vanilla. Jason tahu, jika ia menyatakan bahwa ia membenci Dava, Vanilla akan bersusah payah mencoba untuk menyakinkan bahwa Dava tidak seperti apa yang di pikirkan Jason. Jadi dari pada membuang tenaga hanya untuk membenci, Jason memilih untuk melupakan kebenciannya.

"Sesayang itu Lo sama Vanilla?" Pertanyaan Dava menyadarkan kembali Jason yang sempat melamun.

"Menurut Lo?" balas Jason sarkastik.

Dava mengangkat kedua bahunya, "padahal dia kan sekedar adik angkat lo."

Jason menghirup udara dingin yang berhembus seraya memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Gue gak punya alasan khusus kenapa bisa gue sayang banget sama Vanilla. Mungkin karena gue memang pengen punya adik perempuan dan kebetulan orangtua gue mengadopsi Vanilla."

"Sejak kecil, Vanilla satu-satunya orang yang bisa mengerti pemikiran gue. Sekuat apapun gue nge-push dia, dia selalu punya cara untuk meluluhkan gue. Bukan gue kasihan sama Vanilla, gue mau suatu saat nanti ada orang yang bisa menggantikan posisi gue dan kakak gue untuk menjaga dia. Lo tahu kan seberapa frustasinya gue ketika gue tahu dia meninggal? Rasanya gue gagal jadi kakak untuk dia. Karena Tuhan memberikan kesempatan, apapun akan gue lakukan asal Vanilla bisa bahagia. Sudah cukup penderitaan yang Vanilla hadapi, gue harap dia bahagia dengan masa depannya."

"Lo percaya gue bisa membahagiakan Vanilla?"

Jason kembali menarik napas, "gak yakin sih... tapi gue yakin Vanilla gak akan salah pilih."

"Kalau ternyata Vanilla salah pilih?"

Jason menoleh dengan tatapan tajam, "Lo adalah orang pertama yang gue bunuh." Tajam, menusuk, dan menyakitkan itulah nada bicara Jason sekarang.

Jason tidak bercanda, ia sangat serius dengan ucapannya. Jika sampai Vanilla tidak bahagia dengan Dava, maka Dava adalah orang pertama yang akan di bunuh oleh Jason. Tidak perlu dengan cara menghilangkan nyawa, cukup membuat mati pikiran  Dava. Dengan begitu Dava akan mati dengan sendirinya.

"Ingat, waktu Lo untuk membuat perusahaan lo stabil, satu tahun!" Jason kembali mengingatkan Dava sembari menepuk bahu Dava dan berlalu masuk. "Btw, Lo tidur di lantai, gue mau tidur di sofa," ucapnya tanpa merasa bersalah.

Dava menoleh, "Lo nginep sini?" tanya Dava mendengus kesal. Ia ikut masuk ke dalam dan mendapati Jason sudah tertidur di atas sofa dengan kedua tangannya yang di jadikan bantal.

Dava hendak protes, tapi ia mengurungkan niatnya. Lagi pula Dava sama sekali tidak mengantuk. Sepertinya ia akan terjaga hingga pagi hari nanti. Akhirnya Dava kembali memutuskan untuk duduk di depan laptopnya dan mengerjakan pekerjaan kantor yang belum Dava selesaikan, sembari menunggu rasa kantuk menyapanya.

♥♥♥♥

Mencoba untuk fast update supaya cerita ini cepat selesai. Kasihan cerita aku yang lain, udah pada bedebu🤧
Btw kalau cerita ini selesai, kalian mau aku lanjut ke cerita yang mana?

Jum'at, 16 Oktober 2020

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now