Empat Puluh Satu

8.8K 1.3K 37
                                    

Sepanjang perjalanan Vanessa tak henti-hentinya memberi ceramah pada Vanilla yang hanya diam diperlakukan seperti tadi oleh Soraya.

Vanilla sendiri pembelaan diri dengan alasan ia tidak ingin mencelakai Soraya. Padahal menurut Vanessa kalau pun Soraya celaka, itu akibat dari perbuatannya sendiri, bukan salah Vanilla.

"Lain kali, kalau dia semena-mena lagi sama Lo, ladenin aja," ujar Vanessa berapi-api. Vanilla membalas ucapan Vanessa dengan gumaman, lalu membelokan setirnya menuju parkiran mall.

Mereka pun turun dan bergegas masuk ke salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota. Tujuan mereka saat ini adalah menuju bioskop untuk memesan tiket, lalu berbelanja sebentar sembari menunggu film tersebut ditayangkan.

Vanessa masih kesal atas insiden tadi, sesekali ia mengomel dengan menyeret nama Dava di dalam celotehannya. Vanessa tidak menyalahkan Dava, ia hanya heran bagaimana bisa Dava selalu bertemu dengan orang-orang menyebalkan. Di masa lalu, ada Britney yang sekarang menjadi kakak iparnya. Lalu, sekarang ada Soraya yang tingkat menyebalkan nya lebih tinggi diatas Britney.

Untung saja tadi Vanessa datang, meski agak sedikit terlambat karena Vanilla sudah setengah basah akibat disiram air oleh Soraya. Bayangkan saja jika Vanessa tidak datang, mungkin Vanilla hanya akan diam menerima perlakuan Soraya, atau malah Soraya bisa mengalami trauma karena perlakuannya dibalas oleh Vanilla.

"Eh... Itu istri direktur mall ini kan?"

"Iya, tapi... Yang mana ya? yang rambutnya gelap, atau yang rambutnya pirang?"

"Yang pirang itu adiknya, itu loh yang dulu pernah diberitakan meninggal karena kecelakaan mobil."

"Yang jadi tranding topik, beritanya muncul dimana-mana. Ngeri ya persaingan bisnis sampai bertaruh nyawa."

"Katanya sih... istri direktur mall ini pernah masuk penjara karena pembunuhan terencana."

"Ih, seram. Cantik-cantik psikopat."

"Beruntung banget kan dia menikah sama direktur, coba kalau sama orang lain, pasti gak akan diterima oleh keluarga suaminya."

"Mungkin mereka dijodohkan kali, makanya Pak direktur mau sama dia."

"Iya juga ya.. masa orang semapan pak direktur mau sih sama mantan narapidana. Memang sih dia cantik, tapi kan..."

Mendengar bisikan demi bisikan yang tak sengaja lewat ditelinga Vanilla, Vanilla langsung memanggil karyawan yang sedang asik bergosip itu dan melemparkan baju yang ia pegang seraya berkata, "tolong  di scan ya mbak," dengan nada sarkastik.

Vanilla juga mengambil barang-barang yang dipegang Vanessa dan kembali melemparkan ke karyawan lain yang ikut bergosip, "ini juga tolong di scan sekalian."

Raut wajah dua karyawan itu melihat Vanilla dengan ekspresi kesal bahkan sampai mendengus dan memutar bola mata. Vanilla sih santai saja, ia malah memainkan permen karet yang sedang ia kunyah. Sedangkan Vanessa, hanya diam seolah-olah ia tidak mendengar apapun, padahal dalam hati Vanessa merasa seperti di tusuk ribuan jarum.

"Jangan di dengar, anggap aja tadi setan yang ngomong," bisik Vanilla dibalas senyum tipis disudut bibir Vanessa.

Setelah barang belanjaan mereka selesai dihitung, Vanilla memberikan sebuah kartu berwarna hitam untuk membayar belanjaan tersebut. Lalu Vanilla mengambil barang belanjaannya dan berlalu tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Sombong ya, mentang-mentang punya black card." Kalimat tersebut sempat di dengar Vanilla sebelum Vanilla keluar dari store tempat ia dan Vanessa berbelanja.

Vanessa yang awalnya mengomel tak henti-henti, kini menjadi diam seolah ada yang sedang dipikirkan. Vanilla tahu, kakaknya itu pasti merasa sedih mendengar percakapan dua karyawan yang menggosipinya. Apa separah itu efek dari perbuatan Vanessa di masa lalu?

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now