Lima Puluh Lima

6.4K 1K 84
                                    

Karena sedang cuti bersama, seharian Vanilla menghabiskan waktunya untuk menonton tanpa berminat keluar dari kamar. Padahal hari ini adalah hari ulang tahunnya, tapi entah mengapa Vanilla malah ingin hari ini berlalu dengan cepat.

Diliriknya jam yang menggantung di dinding. Masih pukul tiga sore. Vanilla bingung hendak melakukan aktifitas apa. Ia bosan, tapi otaknya sedang tidak ingin berpikir panjang.

Vanilla menghela napas. Akhirnya ia memutuskan untuk bermain game puzzle di ponselnya.

Tak ada notifikasi pesan atau pun telpon masuk. Terakhir Vanilla berkomunikasi dengan Dava, mungkin sekitar satu minggu yang lalu. Dava sedang di sibukkan oleh urusan kantor dan sedang dalam perjalanan bisnis ke luar daerah.

Negative thinking? Tentu saja tidak. Vanilla bukan tipikal orang yang harus selalu menerima kabar dari kekasihnya. Toh, mereka bukan anak SMP yang harus saling berkabar hampir dua puluh empat jam. Yang penting Vanilla tahu apa yang sedang Dava lakukan. Vanilla sepenuhnya percaya pada Dava.

"Vanilla..." Panggilan itu mengalihkan perhatian Vanilla.

Pintu terbuka, menampilkan sosok jason yang mengenakan kaos tanpa lengan dan juga celana boxer hitam kesayangannya. "Ngapain?" tanya Jason mengintip dari balik pintu.

"Main game," jawab Vanilla cuek.

Jason masuk ke dalam kamar Vanilla dan menghempaskan diri ke atas kasur, hingga Vanilla ikut terpental. Untung saja ponselnya tidak terlempar.

"Hari ini lo ulang tahun," ucap Jason sembari membuka sosial medianya, "Mau kado apa?"

"Gak mau apa-apa."

"Yakin?" Vanilla membalas dengan gumaman pelan.

Jason menyimpan ponselnya, lalu menggeliat dan melingkarkan tangannya di pingging Vanilla yang sama sekali tak bereaksi apa-apa.

"Bangunin gue jam lima ya," ucapnya berniat untuk tidur sembari memeluk Vanilla.

Vanilla tak menyahut, ia fokus menyelesaikan gamenya yang nyaris kalah. Untungnya masih bisa Vanilla selamatkan dan berakhir dengan kemenangan.

Karena tak suka bermain game terlalu lama, Vanilla memutuskan untuk menyudahinya. Ia melirik ke arah Jason yang terlihat seperti beruang sedang hibernasi.

"Jason..." panggil Vanilla pelan lalu diam untuk waktu yang lama. Vanilla memastikan bahwa Jason sudah tertidur pulas dan tidak akan mendengar ocehannya.

"Kata orang, kalau kita buat keinginan di hari ulang tahun, keinginan kita bakal di kabulin? Kalau iya, gue mau minta sama Tuhan untuk mengembalikan semua ingatan gue."

"Sejujurnya gue merasa asing dan merasa hampa. Di satu sisi gue senang, di sisi lain gue sedih sekaligus ragu. Gue ragu sama diri gue sendiri, apa gue orang yang pantas untuk dapat kasih sayang dari kalian semua, atau malah gue orang yang menghancurkan masa lalu gue sendiri?"

"Jujur, gue ragu kalau lo dan Kak Rey, Mami dan Papi, sayang sama gue. Bahkan gue ragu kalau gue ini Vanilla. Gue juga ragu sama perasaan gue ke Dava. Apa gue beneran sayang sama dia, atau malah itu cuma sugesti gue doang?"

"Gue gak ingat apa-apa. Tentang lo dan semua orang, gue gak ingat. Lo tahu rasanya gimana? Ibarat lo ada di sebuah ruangan kosong yang di keliling kaca tanpa jalan keluar."

"Kenapa gue harus tahu fakta sebenarnya kalau gue ini Vanilla? Andai itu gak terjadi, mungkin gue bisa merasa bahagia hidup sebagai Vennelica yang hilang ingatan. Gue gak perlu mikir segala macam hal tentang Dava, lo, dan semua orang yang terlibat di masa lalu gue."

"Gue bingung, gue gak tahu harus bersikap seperti apa. Gue gak mau bahagia diatas penderitaan orang lain, tapi isi kepala gue bilang, gue harus memperjuangkan kebahagian gue. Kalau gue terus-terusan ngalah, gue gak akan pernah bisa bahagia karena gue gak bisa dapat apa yang gue mau. Sekali pun orang itu punya niat jahat, seharusnya gue gak perlu membalas kejahatan itu dengan kejahatan yang lebih kejam. Tapi gue ngelakuin itu. Gue tahu gue salah dan gue merasa bersalah, tapi lagi-lagi isi kepala gue bilang hal yang gue lakuin itu benar."

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now