Lima Puluh Empat

6.9K 1K 159
                                    

"Tumben banget lo ada waktu," sapa Ziko menarik kursi di hadapan Vanilla yang terlihat sibuk dengan buku sketsanya.

Vanilla mendongak sebentar, lalu tertawa pelan mendengar sindiran Ziko. Sejak berminggu-minggu yang lalu Ziko menghubungi Vanilla dan mengajak Vanilla untuk nongkrong bersama. Banyak hal yang ingin Ziko dengar dari Vanilla.

"Gimana Dava?" tanya Ziko setelah memesan minuman pada pelayan yang menghampiri meja mereka.

"Jangan bahas dia deh, lagi sensi gue."

Ziko langsung tertawa, "ternyata gak berubah juga sifat sensian lo," sindirnya.

Vanilla mendongak sebentar, lalu menutup buku sketsanya sembari menghela napas panjang. "Meski gue hilang ingatan, bukan berarti sifat dan sikap gue ikut berubah kan?" sarkas Vanilla kembali memecahkan tawa Ziko.

Dulu mereka dekat sebagai saudara sepupu, sekarang mereka dekat sebagai teman. Awalnya Ziko ragu untuk kembali hadir ke kehidupan Vanilla, namun ternyata Vanilla memberi sambutan hangat pada orang yang dulu pernah menjaga dan menemaninya.

"Btw, besok lo ulang tahun kan? Mau hadiah apa?"

Hampir saja Vanilla menyemburkan minumannya setelah mendengar kalimat Ziko. "Honestly, gue lebih butuh duit dari pada hadiah. Mending lo kasih gue mentahan aja deh buat bertahan hidup."

"Seorang Vanilla Arneysa, wanita sukses yang namanya udah go international, ternyata masih mikirin duit?" sindir Ziko dengan intonasi suaranya yang khas. "Kan ada warisan, pastilah lo bisa bertahan hidup sampai puluhan generasi."

Vanilla kembali tertawa, sampai-sampai ia tersedak minumannya sendiri. Belakangan ini Vanilla memang agak sedikit menjadi sosok yang pemarah, namun kali ini dengan bertemu Ziko, Vanilla merasa suasana hatinya sedikit membaik.

"Nil," panggil Ziko. "Gue masih asing panggil lo Vanilla," ucapnya tertawa pelan.

Vanilla hanya mengembangkan senyum tipis di sudut bibirnya. Jangankan Ziko, Vanilla sendiri masih asing dengan diri dan orang-orang di sekitarnya. Mungkin memang efek dari ingatannya yang hilang.

"Bisa gak sih gue balik kayak dulu lagi?" gumam Vanilla sendu, terdengar di telinga Ziko. "Kenapa gue harus tau kalau gue ini Vanilla, bukan Vennelica."

"Mungkin kalau fakta bahwa gue adalah Vanilla gak terungkap, hidup gue gak akan serumit ini. Gue gak perlu bingung tentang banyak hal, siapa aja yang ada di masa lalu gue, apa yang pernah terjadi sama gue, hal-hal yang bikin gue ragu sama diri gue sendiri."

"Lo gak senang balik ke keluarga lo?" tanya Ziko.

Vanilla menggeleng, "bukan itu." Vanilla menarik napas dalam-dalam seraya mencoba menyusun kalimat yang ingin ia ucapkan.

"Gue pengen semuanya normal."

"Loh, memangnya keluarga lo gak normal?"

Bibir Vanilla yang setengah terbuka langsung tertutup rapat mendengar celetukan Ziko. "Terserah lo deh!" ucapnya kesal karena ia sedang berbicara serius.

"Iya, becanda."

Untuk kedua kalinya Vanilla menarik napas. Kali ini ia menghembuskannya perlahan. "Dua puluh enam tahun, tapi gue merasa seperti anak SMA yang bingung sama jati dirinya sendiri dan labil."

"Dih, pengen banget lo di akuin masih SMA?" sarkas Ziko kembali membuat Vanilla menatap Ziko tajam.

Vanilla mengambil beberapa lembar tisu di atas meja, dijadikan seperti bola, lalu di lemparkan ke arah Ziko yang otomatis mencoba untuk menghindar sembari tertawa.

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن