Aku percaya bahwa tak ada rasa takut yang bisa dianggap remeh, sekalipun rasa takut itu irasional. Apalagi jika Oca sampai harus diterapi seperti itu maka besar kemungkinan kalau keadaannya memang sudah serius.

Aku jadi menyesali sikapku terhadap Mas Dirham tadi. Mungkin saja Mas Dirham mau memberitahuku lebih banyak soal Oca kepadaku tadi, tetapi aku malah memotong pembicaraannya dan melarikan diri. Konyol sekali tingkahku.

"Terus sekarang Oca di mana, Shif?" tanyaku.

Shifa menghela napas pelan mendengar pertanyaanku. "Gak fokus lu ya? Kan tadi gue udah bilang kalau Oca sama Saras."

Aku membulatkan bibirku. Oh iya, aku lupa. "Berarti lagi nonton video sama yang lainnya ya?"

"Tadi sih dibawa Saras ke ruang periksa. Mumpung masih ada Dokter Rasyad dan Dokter Vindy jadi sekalian medical check up dulu. Gak tahu deh mungkin sekarang sudah selesai dan join sama yang lain."

Aku mengangguk mengerti. "Gue susul deh," ujarku seraya meletakkan berkas-berkas itu di meja lalu beranjak pergi, tapi belum sampai aku melangkah Shifa sudah lebih dulu menahan pergelanganku.

"Bentar dulu, Din, ada lagi yang mau gue omongin," ujarnya mencegahku pergi.

"Ada apa lagi?" tanyaku padanya.

Shifa kemudian duduk di kursinya dan dengan isyarat mata ia menyuruhku menduduki kursi di depan mejanya.

"Din, lu gak lupa kan kalau sebenarnya daycare kita ini gak menerima anak-anak dengan kondisi 'khusus' seperti itu, tapi beberapa diloloskan dengan syarat kondisinya tidak terlalu parah serta tidak mengganggu keamanan dan kenyamanan di daycare."

Aku mengerjapkan mataku mendengar pernyataan Shifa. Ah, iya, benar! Aku hampir saja melupakannya. Kalau begitu artinya Oca tak bisa dititipkan di sini? Tapi jika tidak bisa, kenapa berkas Oca sudah berada di tangan Shifa dan Oca sudah dibawa Saras?

"Sejauh ini anak dengan kondisi khusus yang ada di daycare ini kan hanya Reino sama Lila yang mengalami speech delay dan mereka berdua diawasi khusus sama Prita. Nah untuk keadaan Oca yang punya fobia ini adalah kasus baru di daycare kita, Din."

Aku mengangguk mengerti. "Terus gimana, Shif?"

"Tadi gue telepon Ibu Jane ngasih tahu soal kondisi Oca sekaligus minta dia yang memutuskan Oca bisa masuk ke daycare ini atau engga. Tadi Bu Jane udah ngobrol langsung sih sama Pak Dirham tentang kondisi Oca lebih detailnya, beliau juga nanyain Oca ada ketergantungan terhadap obat atau engga."

"Terus Mas Dirham bilang apa?" tanyaku yang semakin terpancing rasa penasarannya.

"Pak Dirham bilang sih Oca udah berhenti minum obat sebulan lalu. Tadinya sih dia memang sempat konsumsi obat penenang dari psikiater tapi sekarang udah engga. Katanya selama Oca gak melihat tangga atau cermin secara langsung, dia gak bakal kenapa-kenapa. Bu Jane akhirnya terima Oca di sini toh di sini gak ada tangga, dan cermin cuma ada di ruang ganti yang gak bisa dimasukin anak-anak. Jadi sepertinya aman, tapi beliau bilang Oca tetap butuh pendamping khusus. Lalu gue usulin lu, Din, buat jadi pendamping khususnya Oca dan Bu Jane setuju. Bu Jane minta gue buat koordinasiin ini ke lu."

APA?!

Aku benar-benar terkejut dibuatnya. Ini beneran gak sih? Atau ini mimpi? Atau justru kemarin-kemarin lah yang mimpi dan saat ini adalah kenyataan. Sebab biasanya kan kenyataan memang lebih pahit dibanding mimpi.

Bukannya aku tak mau menjadi pendamping khusus... tapi kenapa harus dengan anaknya Mas Dirham? Aku baru saja berencana untuk tidak berurusan dengan pria yang telah berkeluarga itu.

"Oh iya, Oca juga jadi anak terakhir dengan kondisi khusus yang diterima di sini. Bu Jane bilang untuk ke depannya kita gak menerima lagi kondisi khusus macam apa pun soalnya demi kebaikan bersama juga. Jadi gimana, Din? Lu setuju kan jadi pendamping khususnya Oca?"

Aku tak langsung menjawab pertanyaan Shifa. Di sisi lain aku merasa tak bisa mengabaikan Oca, tapi di sisi lainnya aku juga ingin mengenyahkan perasaanku pada Mas Dirham. Takutnya jika aku menjadi pendamping khusus Oca, aku akan semakin sering bertemu atau berhubungan dengan Mas Dirham.

"Kalau lu masih galau mungkin ini bisa dijadikan pertimbangan." Shifa mengambil lembaran kertas yang tadi kuletakan di mejanya. Ia mengambil lembaran di paling belakang lalu menyodorkannya padaku.

Aku mengambil lembaran kertas itu dari tangannya lalu membaca tulisan pada kertas yang Shifa telah pilihkan untuk kubaca.

Hmm, ini informasi biodata wali. Aku mendelik menatap Shifa sesaat sebelum kembali menatap kertas di hadapanku. Ini anak mau menabur garam di atas lukaku apa giman─eeh tunggu! Ini gak salah?

Pada kolom status pernikahan, Mas Dirham melingkari pilihan 'pernah menikah' bukannya 'menikah'. Kalau begitu artinya ... Mas Dirham itu duda?! Pantas saja Mas Dirham tak membawa serta istrinya saat pindahan. Tapi kira-kira kenapa mereka bercerai ya? Apa mungkin karena sudah tidak cocok seperti yang dikatakan para selebritis saat akan berpisah dari pasangannya? Atau jangan-jangan mantan istrinya Mas Dirham sudah tiada?

Aku memijit pelan pelipisku. Gini nih kalau berurusan sama hidup orang. Pusing. Heran aku sama para manusia yang bisa-bisanya mengurusi hidup orang lain tanpa diminta. Lah aku baru begini aja udah puyeng.

Kurasakan tangan Shifa menepuk-nepuk pelan bahuku. "Ini kesempatan, Din," ujarnya.

Aku menyipitkan mataku menatapnya. Sambil berdecak, kuserahkan kembali lembaran kertas itu padanya. Boro-boro mau mikirin kesempatan sekarang mah, melihat jalannya saja sudah rumit!

***

Kepingan DirhamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang