"Satu hari dalam hidup gue, gue pernah berpikir kaya gini. Gue nggak pinter, gue harus nutupin kebodohan gue ini dengan sikap baik gue, karena kalau belajar otak gue udah nyerah. Gue susun apa yang harus gue perbuat, salah satunya coba ngertiin orang lain, coba nggak cuek sama orang-orang sekitar, coba nggak egois, coba buat ngalah biar semua baik-baik aja, coba buat menghargai apa keputusan orang lain, coba nggak marah sama hal-hal sepele dan ya intinya nyoba jadi orang-orang baik berhati malaikat. Tapi kenyataan gue ini sampai sekarang masih manusia yang ngelakuin hal-hal bertolak belakang dari apa yang udah gue susun, gue yakin sekalipun itu orang yang bener-bener baik pasti dia punya hasrat buat egois, marah atau pun dendam. Itu termasuk hal yang wajar dan normal bagi kita selaku manusia, yang nggak normal itu saat lo maksain apa yang nggak lo suka sampai diri lo hilang kendali dan jadi stres." Lanjut Epot.

"Gue harus gimana, mal? gue takut buat bilang," kata Desvilia jujur.

"Sampai kapan mau takut?" tanya Epot. Epot sengaja memperpanas suasana agar saudaranya ini berani.

Desvilia menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. "Anya emang orang baik, gue akui dia emang paling baik dari beribu orang baik, bisa jadi juga Anya itu adalah titipan dari Tuhan yang sengaja sekolah di Gapara buat ngasih teguran sama lo, biar lebih peka sama orang-orang sekitar, supaya lo nggak nutup diri dan jadi anak introvert. Anya juga ngebuktiin kalau ada orang yang sayang sama lo kalau lo berani buka suara dan jelasin apa yang lo mau, orang-orang nggak akan ngerti maksdud kita kalau kita diem aja Lia," ucap Epot lebih tegas.

"Percuma kalau nanti gue buka suara nggak ada yang mau ngerti, buat apa?!" tanya Desvilia sedikit membentak.

"Seengga lo udah nyoba, orang yang berani jatuh berkali-kali adalah orang kuat Lia, ayo lo bukan penakut," balas Epot.

Desvilia malah menangis lebih kencang sambil menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya mengingat perlakukan kejam Ayah dan Ibunya. Epot pindah duduk di sebelah gadis itu dan memberanikan diri untuk memeluknya, tak menyangka Desvilia membalas pelukan tersebut. "Nyokap gue selalu bilang kalau temen itu nggak penting mal, nggak penting sampai gue ngerasa kalau gue ini bukan manusia normal pada umumnya, gue capek," kata Desvilia sambil terisak.

Malam ini adalah malam penuh arti bagi Epot yang bisa menjadi pendengar terbaik sekaligus menjadi penasehat untuk gadis yang terpuruk, jujur ia jadi merasa lebih sedikit berguna menjadi manusia.

Ica sudah bisa berjalan walau sedikit agak ngilu, mungkin belum terbiasa lagi. Kale dengan sabar membantu Ica berjalan dengan merangkulnya, padahal ini sudah waktunya tidur.

"Abang kenapa sih pengen Ica bisa jalan? nggak mau Ica repotin buat suruh ngambil ini itu?!" tanya Ica seraya mengerutkan bibir.

Kale terkekeh kecil. "Biar kita bisa lari bareng-bareng Ca," balas Kale dengan suara lembut.

"Iya nanti lari bareng-bareng sama putri?" tanya Ica. Putri adalah Anya yang sekarang sedang berdiri di tepi menunggu mereka berdua. Kale tersenyum sedih.

"Iya, sama putri." Jawab Kale.

Ica tersenyum lebar. "Abang makasih ya," kata Ica tiba-tiba.

"Untuk apa?" tanya Kale.

"Untuk selalu ada buat Ica," kata Ica sambil tersenyum lebar.

"Geli ih." Balas Kale membuat Ica kembali mengerutkan bibir.

Setelah Ica selesai Kale berjalan menuju dapur, ia melihat Anya tengah mengiris bawang sampai mengeluarkan air matanya.

"Anya," panggil Kale. Anya menoleh.

"Kenapa?"

Kale sebenernya ragu untuk mengatakan hal ini, tapi ia tak mau setiap harinya selalu dianggap tak ada oleh Anya karena kejadian hari itu.

KALE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang