• Tiga puluh lima

5.9K 325 0
                                    

Nyatanya Gema berbohong. Dia tidak menampakkan Batang hidungnya, apa dia tidak ingat bahwa janji tidak meninggalkan Jana?

Saat terbangun dari lelahnya melahirkan kala itu Gema sudah tidak berada disampingnya, hanya Mamah dan anaknya saja. Allhamdulillah bayi lelaki itu sehat, walau melalui badai masalah sebelumnya tapi takdir berkata Arfaqsan menyapa dunia dengan wajah bersinar menutupi kesedihan Jana juga membuat semua keluarga Jana bergembira.

Diusapnya kulit halus nan wangi yang berada di dekapannya ini. Bayi tengah tertidur itu menggeliat sebentar membuat mata Jana tidak bisa berpaling perhatian seolah tertuju padanya. Mulut kecilnya terbuka dan mata mirip dengan Gema itu menyesuaikan cahaya masuk. Jana tersenyum kecil. Kata Najla, Gema mengazani Arfa setelah itu pergi.

Tidak perduli dengan apa yang dilakukan Gema perasa nyaman terlanjur melingkupi hati Jana. Tidak dipungkiri bahwa baru kali ini Renjana Calista perempuan independen menemukan seseorang yang bisa mengerti dan paham akan dirinya. Kelembutan serta canda tawa terlontar yang seakan tidak perduli sesinis apapun Jana. Bagaimana pun mereka satu frekuensi.

Memdapati setitik air turun dari mata, buru-buru Jana menghapusnya kemudian memindahkan kaki Arfa yang nyerong tak tentu arah agar bayi mungilnya ini tidak terjatuh.

Faktanya sedikit suara saja mampu membuat Arfa bangun membuat extra hati-hati Jana meningkat. Bahkan Papah dan Mamah tidak sampai memindahkan kamar dilantai dua. Dinding dengan kedap suara dipasang oleh Papah agar cucunya itu mendapatkan ketenangan. Berulang kali Jana memanjakan syukur atas segala kejadian dalam hidupnya. Ternyata Papah tidak sekaku yang Jana pikir.

Jana bangkit dan berjalan menuju kamar mandi, mengusap wajah dengan air. Kemudian memperhatikan setiap titik dari sana, kantong mata paling kelihatan adalah bukti bagaimana Jana, perempuan delapan belas tahun itu hampir bergadang setiap malam dan tangis deraa saat rindu dengan Gema.

"Jana?" samar Papah berhasil meraih Jana keluar dari lamunan.

Dia mengeringkan muka dan keluar.

"Ya?"

"Papah mau bicara," kata Papah kemudian melenggang ke luar kamar.

Melirik sekilas pada Arfa, dia masih tidur. Membuat Jana bisa tenang, bayi itu memang akan tidur panjang jika semalam bergadang.

Memperhatikan ruang makan sangat sunyi sukses membikin kening Jana berkerut, biasanya Mamah dan Mbak akan ngobrol. Namun sekarang tidak menemukan mereka. Ketika mendapati Papah duduk di bangku, Jana yakin ini sudah dipersiapkan. Mengambil napas agar tenang, sulit sekali agar tetap damai jika berhadapan dengan Papah yang tengah serius.

Seraya mendaratkan tubuh ke bangku Jana memperhatikan Papah dengan diam, tiba-tiba wajah tegas hampir keriput itu terangkat. Pandangan mereka bertemu. Kekhawatiran, tegas dan kasih sayang tersirat disana.

Papah meraup wajahnya kasar sebelum bertanya.
"Kamu kangen Gema?"

Seperti telaga di gurun sahara, tidak buang waktu lagi Jana antusias naik-turun kepala.

Papah terdiam memperhatikan. Menghela napas. "Kamu boleh hubungi dia melalui ponsel. Hanya dengan ponsel," tekanan diakhir kalimat.

Cahaya itu meredup, Jana menunduk. Ingin merasakan kehangatan rengkuhan Gema, disana Jana tidak hanya merasa hangat tapi terlindungi dan kekuatan untuk bertahan entah dari apa tapi Gema bisa melakukan itu. Jana rindu. Dikecup dahinya juga dipandang penuh kerinduan menggebu.

"Tidak mau?"

Jana mendongak. "Mau, Pah. Mau."
Diberikan kesempatan bisa berhubungan dengan suaminya saja sudah membuatnya senang dan jika minta lebih pada Papah, khawatir akan dicabut lagi tawaran itu.

Akrasia |✔|Where stories live. Discover now