• Sembilan belas

3.7K 308 3
                                    

"Ntar, Jana kabarin lagi, Pah. Minta izin Gema dulu."

"..."

Meringis Jana mendengar teguran Papah. "Maksud Jana, Mas Ge."

"..."

"Wa'alaikumsalam. Night, Pah."

Kepala Gema terangkat, dia lantas menurunkan kacamata pindai ekspresi Jana. "Ada apa?"

Perempuan itu menghembuskan khawatir, dia menjatuhkan tubuh di samping Gema. Menyingkirkan bantal yang menghalangi kemudian menelusup memeluk lelaki itu dari samping. Mulai bicara. "Papah mau ketemu."

Terdiam. Gema balik pasang kacamata lalu melanjutkan aktivitas, dan menjawab. "Bagus dong. Kalian kan belum ketemu semenjak itu."

Kepala Jana mendongak, posisi Gema setengah berbaring. Dia mencebik kesal, kirain bakal pengertian ternyata kali ini nggak peka. Dasar lelaki.

"Aku masih takut, Ge. Besok lagi, kamu sekolah. Pengennya ditemenin," kata Jana jujur. Terlalu banyak praduga bertemu Papah, wajah keras dengan mata hampir keluar juga teriakan pria itu masih terekam jelas.

"Papah minta kamu doang 'kan? Jadi gapapa lah, mungkin dia kangen sama Kamu," bujuk Gema mendapati suara tak ikhlas itu.

Tangan Jana dirapatkan ke pinggang orang disamping, membuat Gema tak nyaman dan beralih membawa tubuh Jana dipangkuan.

"Takut Aku."

Dikecupnya Puncak kepala Jana. "Coba dulu, jangan berprasangka buruk. Bismillah."

Kilas balik kejadian semalam membuat helaan napas diambil oleh Jana. Duduknya terasa tak nyaman, padahal sofa berbulu halus memanjakan tubuh.

"Assalamualaikum," suara bariton milik Papah membuyarkan perhatian Jana. Dia menyalami dan duduk dengan gelisah. Degup tak karuan sangat tidak wajar berkali-kali berhadapan dengan Papah tidak pernah gelisah ini.

Mata bak elang milik Papah mengamati perut  Jana sekilas, dia menghembuskan napas panjang. Terulur mengusap jilbab Jana dengan sangat lembut, seperti dahulu. Selalu dilakukan sehabis pulang dari kantor dan sudah pasti Jana terlelap. Hampir tak punya waktu berkumpul karena merintis perusahaan yang dari diremehkan hingga berjaya seperti sekarang.

Proses awal hingga akhir perlu waktu, mengumpulkan orang-orang berkompeten dan terpercaya bukan mudah. Akhirnya dikorbankan waktu bersama keluarga. Dan Prasetyo menyesal. Sekarang.

"Maafin Papah Jan."

Pergerakan mata Jana terhenti pada wajah sendu itu, pandangan mata biasanya tajam kini melunak juga raut kesedihan muncul, untuk pertama kalinya Jana melihat sisi Papah ini. Tidak pernah ditunjukkan olehnya, kontan dia terdiam ikut merasakan pilu. Pertengkaran hebat beberapa bulan belakangan itu mengusik memorinya.

Papah merasakan hal sama, dia belum bisa mengontrol emosi dengan baik hingga kini. Kejadian di rumah kala itu membuka sanubari, aksi ngambek istrinya juga membuat dia frustasi. Berulang kali berfikir membuat dia sadar kesalahan. Apalagi menemui anaknya dengan kondisi mengandung, rasanya tak tega. Jujur, dia tak berniat menikahi Jana dengan siapapun. Dia masih waras mengetahui anak bungsu itu ingin menggapai cita-cita. Namun karena suatu hal dia harus.

Lalu selanjutnya apa? Toh sudah terjadi. Menutup lembar kesalahan dia merentangkan tangan pada si bungsu yang telah berganti tanggungjawab ini. Menghirup kerinduan besar, mengenang masa-masa Jana.

"Papah sayang sama Kamu. Banget. Maaf, impian Kamu harus dihapuskan karena pernikahan."

Kehabisan kata-kata, pelukan hangat ini sangat Jana rindukan. Tidak ada teriakan, sanggahan dan perdebatan. Ini normal. Amat di rindui dekapan Papah.

Akrasia |✔|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang