• Dua puluh dua

3.5K 273 0
                                    

Kepala Jana terus menengok kearah pintu, tapi tidak ada tanda-tanda terbuka. Dia menghela napas, hampir setengah jam. Tadi pagi katanya akan senam kini Ibu belum menunjukkan diri.

Padahal dari semalam dia sudah bertekad ingin lahiran normal. Terinspirasi dari Mbok Lastri.

Jana berdiri, mengusap pinggangnya pegal. Gelembung ini membuat Jana harus berkali-kali duduk untuk mengistirahatkan kaki. Berat.

Dia melangkah ragu menuju pintu, menoleh ke segala arah untuk melihat jika ada orang.

Sudah pukul setengah sebelas, makin lama bukan senam namanya. Udara luar cukup segar karena semalam diguyur hujan, Jana tak ingin melewatkan kesempatan ini.

Tangannya ingin membuka kenop pintu, tapi tak bisa. Malah terbuka sedikit. Tidak dikunci. Dengan perasaan senang, dia mendorong pelan hingga terlihat tubuh Ibu.

"Astagfirullah, Ibu sakit?" tanyanya sudah berada di samping ranjang seraya memegang tangan wanita itu.

Netra tajam itu kini lesu, memijit pelipisnya sendiri. Jana mengambil alih dan menatap khawatir. "Ke dokter, Bu?"

"Nggak."

Posisi wanita itu kembali berbaring lelap, seakan menghindari Jana. Suhu panas pada Ibu berhasil membuat Jana pening. Panas banget. Padahal Ibu yang sakit masa Jana ikutan pusing. Apalagi melihat sekeliling ruangan yang berantakan, kepalanya berdenyut.

Keluar kamar Jana mengambil kompres air. Sebelum meletakkan kompresan dia mengecilkan AC lalu duduk. Menghela napas pelan, merapihkan juga sulit. Perutnya menghalangi.

Jana menyuruh Mbak Lastri dijawab dengan tatapan takut. "Nggak, nduk. Saya dilarang masuk ke kamar nyonya."

Lantas siapa yang merapihkan kekacauan ini. Dengan perlahan dia menyusun benda-benda berceceran sekiranya bisa dijangkau dan tak membahayakan bayi.

Saat botol berisi serum wajah ingin Jana taro di laci, keningnya otomatis berkerut. Dalam laci kecil itu terdapat banyak pil, tablet juga kertas. Anehnya kertas itu bergambar, dan itu terdapat wajah karakter kartun yaitu alice in wonderland. Dengan perlahan Jana menurunkan serum wajah itu hingga gerakan dari belakangnya membuat Jana terkesiap. Tak bisa berkutik.

Laci di tutup dengan keras, serum wajah tadi sudah tak berada pada Jana. Wanita itu merebut tanpa perasaan sambil menguatkan cekikan.

Melihat korban hampir kehabisan napas, dia melonggarkan. Mata tajamnya tercermin letupan membara. Senyum sinis nan menakutkan tercetak jelas.

"Perempuan bodoh!"

"Akh!" teriak Jana saat jilbabnya ditarik, perih menerpa kulit rambut. Airmata hampir menitikan.

"Jangan beritahu siapapun," ancamnya sudah mengeluarkan belati mini berhiaskan stiker bunga mawar. Semakin mendekat dengan perut Jana. "Atau kamu dan anakmu tak selamat."

Sakit keterlaluan juga khawatir keselamatan anaknya, Jana mengangguk.

::

Tak ada suara terdengar, dari tadi Ibu menatapnya garang. Ancaman kapan saja bisa terlaksana.

Ringisan pelan membuat Gema menoleh. "Kamu kenapa? Sakit?" tanyanya lembut.

Kepala Jana menggeleng, melanjutkan mengunyah makanan. Tapi Gema tidak bodoh, dia masih curiga. Dari sembab mata Jana sudah membuktikan kalau perempuan itu habis nangis.

Deheman dari Ibu mengalihkan perhatian Gema.

"Beberapa hari Ibu akan pergi sama temen-temen Ibu. Jadi kalian rukun di rumah ya, Gema jaga adik-adikmu."

Lelaki itu mengangguk, memberikan jempolnya, setuju.

Nisa dan Putri menatap heran. "Kemana, Bu?" Nisa bertanya.

Ibu mengibaskan tangan. "Ada deh. Ntar dikasih oleh-oleh."

Sehari setelah Ibu pergi, rumah menjadi tempat paling nyaman. Berbeda dengan hari biasa, seperti sekarang Jana lakukan. Dia tengah asyik menonton televisi sambil makan boci. Kalau ada Ibu mana boleh makan instan begini, mie saja Jana makan diam-diam.

Gema masih tertidur pulas berbantalkan pahanya, tak terganggu.

Ponsel Jana berdering membuat atensi perempuan itu beralih, mengecilkan volume televisi sebelum mengangkat.

"Ada Bang Ge ngga?"

"Ada."

Terdengar nada angkuh dari seberang. "Suruh jemput Aku di sekolah."

Klik.

Nisa duluan memutuskan sambungan telepon, Jana menarik napas sabar. Menunduk sebentar untuk melihat muka ayah anaknya ini. Lucu banget, struktur wajah Gema bisa membuat semua orang yang mendapati senyum Gema akan tersipu malu. Derita cewek cogan begini.

Dengan lembut, Jana menepuk pipi Gema. "Bagun, boo."

Terusik, Gema malah semakin merapatkan diri dengan tubuh Jana tapi tidak sepenuhnya berhasil karena terhalang perut Jana.

"Ge, kamu disuruh jemput Nisa di sekolah."

Mendengar nama adiknya lelaki itu langsung buka mata, duduk dan mengumpulkan nyawa. Setelah dirasa cukup dia bergegas rapih-rapih untuk menjemput.

Melihat sikap Gema, jujur Jana sedikit iri pada Nisa. Merasa tersaingi. Apa kalau Jana yang meminta akan langsung gerak cepat begitu si Gema? Belum tentu.

"Jangan terlalu banyak pikiran, ntar keponakan Aku stress."

Putri duduk, di pangkuannya ada setoples keripik pisang dibalut cokelat. Jana memperhatikan, ingin.

"Kok diem?" tanyanya tanpa melihat Jana, dia fokus membalas pesan pada ponsel.

"Boleh minta keripiknya?" kata Jana mengungkapkan keinginan. Ugh, enak betul itu keripik.

Putri menyodorkan toples bahkan memberikan, dia terlalu pening dengan masalah kelas. Pulang cepat pun rasanya tak berguna jika di rumah harus bertemu masalah. Bayangan indahnya harus tertunda. Huh.

Diliriknya kakak iparnya itu, masih anteng menyuapkan keripik tadi. Perut buncitnya bisa menjadi sandaran bagi toples. Lucu.

"Mbak tau Bang Ge menang lomba tenis? Aku bangga banget tau."

Jana menyipitkan mata, lomba? Gema tak berbicara perihal itu. Lantas dia geleng kepala, membenarkan posisi duduk. "Aku nggak dikasih tau."

Tak berbeda dengan Jana, adik Gema itu juga turut bingung. "Aneh banget. Nggak biasanya Bang Ge begitu."

"Begitu gimana?" tanya Jana tidak paham maksud Putri.

Perempuan itu menghela napas. "Ya, nggak kasih tau Mbak. Aneh aja. Bang Ge itu selalu terbuka sama orang-orang terdekat. Makanya Aku kaget pas Mbak bilang begitu."

Hati Jana terasa sesak, dia menatap kearah lain. Terbang jauh pada pikiran negatif yang mulai bermunculan.

Jana tidak begitu kenal Gema. Padahal hampir delapan bulan sudah bersama, ngobrol banyak hal. Aura lelaki itu enak jadi nyaman saat berbincang. Tapi untuk bicara urusan ini dia tidak mengaitkan Jana? Sebegitu tidak pentingnya dia?

"Assalamualaikum."

Keduanya menjawab.

Gema masuk dengan Nisa di gendongannya. Putri berdiri untuk mengekor, dia bergerak lambat untuk membantu Ibu hamil ini untuk berdiri dulu.

Bersamaan dengan Gema menurunkan Nisa ke tempat tidur. Putri membuka suara. "Nisa kenapa?"

Lelaki itu memandang adiknya dengan pedih. "Hampir diperkosa."

Penuturan itu tak ayal membuat Jana melebarkan mata. Dia tak menyangka padahal beberapa menit lalu sempat berbicara.

Gema masih memperhatikan Nisa tertidur, tepatnya karena pingsan. Mendapati Nisa hampir dilecehkan oleh beberapa teman lelakinya membuat Gema berang, jika tidak datang tepat mungkin kejadian biadab sudah terjadi.






Akrasia |✔|Where stories live. Discover now